Manusia
dibedakan dengan makhluk hidup yang lain seperti hewan. Bumi diserahkan kepada
hewan-hewan itu sudah siap pakai. Akan tetapi manusia tidak demikian, bumi
diserahkan kepada manusia itu sudah siap olah, manusia berkewajiban mengolah.
Yang berarti manusia dituntut berupaya, berusaha, dan bekerja keras. Dalam arti
belajar dengan tekun bagi para penuntut ilmu untuk mencapai hasil atau tujuan
yang diinginkan.
Dengan
demikian berarti kerja keras manusia itu adalah bagian dari kewajibannya.
Atau belajar dengan tekun adalah bagian dari kewajiban penuntut ilmu untuk
mencapai tujuannya yang lebih baik. Menuntut ilmu hukumnya sangat wajib
bagi setiap muslim yang berakal, baik miskin atau kaya, orang kampung atau pun
orang kota, selama dia berakal sehat wajib hukumnya menuntut ilmu. Dikatakan
dalam Hadis :
طَلَبُ
الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَی كُلِّ مُسلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ
“Menuntut
ilmu itu sangat wajib bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan”
Dalam
kajian hukum Islam, bahwa standar hidup yang ideal bagi manusia adalah Haddul
Kifâyah, Lâ Haddul Kafaf (batas kecukupan, bukan batas pas-pasan). Dan kita
tahu bahwa kewajiban dalam menuntut ilmu dimulai dari rahim ibu sampai liang
lahat. Dengan demikian untuk memenuhi standar hidup yang ideal hendaknya tidak
hanya pas-pasan. Dalam kitab “Ta’lim al-Muta’allim” yang ditulis oleh
Imam Al-Zarnuji, beliau menulis bahwa syarat-syarat mencari ilmu ada 6, yaitu:
1. 1. Cerdas. Adalah salah
satu syarat untuk menuntut ilmu. Kecerdasan adalah bagian dari pengaruh
keturunan jalur psikis. Dari ayah dan bunda yang cerdas akan lahir anak-anak
yang cerdas, kecuali adanya sebab-sebab yang memungkinkan menjadi penghalang
transformasi sifat-sifat tersebut baik situasi fisis maupun psikis.
Sehat jasmani dan lemah jasmani, makanan bayi dalam kandungan maupun situasi
psikis ayah bunda seperti semangat dan himmah menuntut ilmu, melakukan
kejahatan, emosi, maupun warna pikiran akan ikut memberikan pengaruh yang besar
bagi keturunan. Itulah buktinya bahwa dari ayah dan bunda yang sama akan lahir
anak-anak dengan kondisi fisik, watak, sifat dan kecerdasan yang berbeda.
Tentang kaitan keturunan dengan ilmu pengetahuan maka kita perlu mengingat
bahwa yang diturunkan dari orangtua adalah tingkat kecerdasannya saja bukan
kekayaan ilmu pengetahuan. Kekayaan ilmu pengetahuan tidak ada jalan lain kecuali
belajar dengan baik. Sabda nabi Saw:
إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ (الحديث)
“Bahwasanya ilmu itu diperoleh dengan (melalui) belajar”. —Al-Hadis—
Dan yang menjadi masalah sekarang bagaimana anak yang cerdas (karena keturunan)
tetapi tidak memiliki ketekunan dan kesungguhan dalam menuntut ilmu, jawabannya
sudah pasti bahwa dia tidak akan menjadi orang pandai/‘Alim.
2. Rakus (punya kemauan dan semangat untuk
berusaha mencari ilmu)
“Kejarlah cita-citamu setinggi langit”. Peribahasa ini memberikan arti bercita-citalah
setinggi-tingginya dan raihlah cita-cita itu sampai dimana pun. Peribahasa
tersebut memberikan motivasi kepada kita untuk pantang menyerah mengejar
cita-cita (pendidikan) kita.
Orang yang menuntut ilmu haruslah seperti peribahasa di atas: “selalu berusaha
dan berusaha menuntut ilmu untuk mencapai cita-cita yang tinggi”.
Bahkan menurut Imam as-Syafi’i, dalam menuntut ilmu janganlah langsung merasa
puas terhadap apa yang telah didapat dan jangan hanya menuntut ilmu di satu
daerah saja.
مَافِى الْمَقَامِ لِذِيْ عَقْلٍ وَذِيْ أَدَبٍ
. مِنْ رَاحَةٍ فَدَعِ اْلاَوْطَانَ وَاغْتَرِبِ
سَافِرْ تَجِدْ عِوَضًا عَمَّنْ تُفَارِقُهُ
. وَانْصَبْ فَإِنَّ لَذِيْذَ الْعَيْشِ فِى النَّصَبِ
“Tidak cukup teman belajar di dalam negeri atau dalam satu negeri saja, tapi
pergilah belajar di luar negeri, di sana banyak teman-teman baru pengganti
teman sejawat lama, jangan takut sengsara, jangan takut menderita, kenikmatan
hidup dapat dirasakan sesudah menderita.” (diambil dari kitab Sejarah Hidup dan Silsilah Syekh
Kiyai Muhammad Nawawi Tanara Banten yang ditulis oleh H. Rofiuddin. Hal. 4)
Dan ada tiga
kategori manusia:
Berjaya: jika hari
ini lebih baik dari kemarin, Terpedaya: hari ini sama seperti kemarin, Celaka:
hari ini lebih buruk dari kemarin.
3. Sabar. Dikutip dari bukunya Prof. KH. Ali
Yafie “Manusia dan Kehidupan” bahwa manusia pada hakekatnya dihadapkan kepada
pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab (tantangan). Seorang manusia harus
mampu menjawab berbagai pertanyaan menyangkut kehidupannya yang terkait dengan
berbagai tantangan dan persoalan. —2006: 1
Seorang yang menuntut ilmu sudah barang tentu akan menghadapi macam-macam
gangguan dan rintangan. Selain berusaha maka bersabarlah untuk menghadapi
semuanya itu, dan perlu diketahui bahwa sabar adalah sebagian dari Iman, “As-Shobru
mina al-îmân”. Dan Sabar disini mengandung arti tabah, tahan menghadapi
cobaan atau menerima pada perkara yang tidak disenangi atau tidak mengenakan
dengan ridha dan menyerahkan diri kepada Allah Swt. Sabda nabi Saw:
اَلصَّبْرُضِيَاءٌ
“Bersabar adalah cahaya yang gilang-gemilang”.
Akan tetapi kesabaran disini harus diartikan dalam pengertian yang aktif bukan
dalam pengertian yang pasif. Artinya nrimo——menerima— apa adanya tanpa
usaha untuk memperbaiki keadaan. Sesuai ajaran agama pengertian sabar dan
kata-kata sabar itu misalnya dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an Surat Ali
Imran. Yakni satu surat yang terdiri dari 200 ayat yang menjelaskan tentang
keseluruhan perjuangan besar dan berat yang telah dilakukan rasulullah Saw
sepanjang hidupnya dan itu semua direkam dalam Surat Ali Imran. Ada dua
perjuangan berat dan sangat menentukan yaitu pertempuran badar dan uhud. Di
dalamnya terdapat banyak kata-kata sabar, tetapi kata-kata sabar itu selalu
diletakan dalam konteks perjuangan bukan dalam konteks seseorang ditimpa
musibah. Dengan demikian dapat diperoleh gambaran dan kesimpulan pengertian
bahwa sabar yang aktif itu artinya suatu mentalitas ketahanan belajar, memiliki
mental yang kuat untuk tekun belajar dan berusaha keras seoptimal mungkin
dengan penuh daya tahan, tidak jemu, tidak bermalas-malasan, tetapi belajar
dengan penuh semangat. Selain itu, dalam belajar harus berkonsentrasi (Khudzurul
Qalb) karena jika belajar pikirannya bercabang maka tidak bisa optimal.
Salah satu bagian dari sabar adalah Khudzurul Qalb.
4. Bekal
(biaya). Setiap
perjuangan pasti ada pengorbanan, itulah logikanya, manusia menjalani hidup ini
butuh pengorbanan begitupun menuntut ilmu.
Biasanya, dalam hal biaya ini menjadi dalih masyarakat yang sangat utama
dalam menuntut ilmu khususnya pada pendidikan formal. Sehingga ketika ditanya
salah seorang yang tidak belajar di pendidikan formal misalnya, “kenapa kamu
atau dia tidak sekolah?” jawabannya sungguh gampang sekali, “saya atau dia
tidak sekolah karena tidak punya biaya.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan wajib hukumnya bagi setiap
muslim, dan dijelaskan lagi dalam hadis “Tuntutlah ilmu mulai dari rahim ibu
sampai liang lahat”. Dari hadis tersebut kita bisa mengetahui bahwa, seumur
hidup kita wajib menuntut ilmu. Pendidikan bukan hanya pendidikan formal tetapi
non formal pun ada. Rasul menjanjikan kepada para penuntut ilmu,
إنَّ ﺍﷲَتَكَفَّلَ لِطَالِبِ اْلعِلْمِ بِرِزْقِهِ
“Sesungguhnya
Allah pasti mencukupkan rezekinya bagi orang yang menuntut ilmu”
Dalam lafal hadis di atas tertulis lafazh takaffala dengan menggunakan fi’il
madhy yang aslinya mempunyai arti ‘telah mencukupkan’ yang
“seolah-olah” sudah terjadi. Maka lafazh tersebut mempunyai makna pasti,
asalkan dibarengi dengan keyakinan terhadap kekuasaan Allah. Dan yakinkanlah
bagi para penuntut ilmu walaupun dengan segala kekurangan——biaya— pasti mampu
atau bisa menyelesaikan pendidikan. Karena pasti akan ada jalan lain selama
manusia berusaha dan yakin terhadap kekuasaan dan pertolongan Allah Al-Yaqinu
Lâ Yuzâlu bi as-Syak Artinya: ”keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh
keragu-raguan”. Dan akhirnya maka tidak ada alasan orang tidak bisa
menuntut ilmu karena biaya, seperti keterangan sebelumnya carilah jalan lain,
solusi lain untuk bisa menuntut ilmu.
5. Petunjuk
Guru; Profesionalisme
Guru
Ilmu didapat dengan dua cara. Pertama dengan bil kasbi. Yakni didapat
dengan cara usaha keras sebagaimana layaknya pencari ilmu biasa. Ia belajar
menuntut ilmu dengan tekun belajar dari bimbingan yang benar. Kedua dengan bil
kasyfi. Yakni dengan cara mendekatkan diri kepada Allah Swt secara total.
Dengan kedekatannya kepada Allah Swt, Allah akan memberi apa yang ia minta.
Cara ini adalah cara untuk orang khusus. Sebagai penuntut ilmu berusahalah
semaksimal mungkin untuk dapat mengkorelasikan keduanya. Juga, berusaha
semaksimal mungkin untuk mendapat petunjuk guru karena tanpa petunjuk guru dan
tanpa taqarrub (ibadah mendekatkan diri) total kepada Allah bisa jadi
ilmu tersebut datangnya dari iblis la’natullah ‘alaih. Profesionalisme
guru artinya seorang guru harus mampu menguasai pelajaran sesuai dengan
bidangnya.
Sebagai guru haruslah mempunyai sifat-sifat yang mencerminkan kemuliaan ilmu
dan tabi’at——akhlaq—yang baik. Kita analogikan seorang petani profesional akan
merawat tanamannya dari rumput pengganggu, ia akan membasmi hama dan
penyakitnya. Demikian pula seorang pendidik haruslah membersihkan dirinya dari
segala kebiasaan buruk dalam masyarakat. Ia akan tanggap dan waspada dengan
para penyeru maksiat. Hendaklah ia membenahi dirinya sebelum ia menebarkan
benih-benihnya. Ia harus menanamnya dalam lahan yang subur. Hendaklah ia menyibukkan
diri dengan amal kebaikan, kesibukan-kesibukan akhirat yang akan menjadi tameng
dari syahwat dan syubhat. Kemudian sebaik-baik pendidik adalah yang konsisten
dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang tercermin lewat akhlak dan amalan-amalannya
yang shalih. Cerdas dalam mendeteksi penyakit hati serta berpengalaman dalam
mengobatinya, remaja yang tumbuh dari pendidikan—tarbiyah—yang baik maka akan
menjadi buah yang segar nan ranum. Ia bermanfaat bagi diri dan masyarakat
sekitar.
Beberapa ciri-ciri tabi’at guru—pendidik—yang harus ditanamkan adalah sebagai
berikut:
- Mencintai pekerjaannya sebagai guru
- Adil terhadap semua murid
- Sabar dan tenang
- Berwibawa (dilihat dari ilmu dan taqwanya) serta kemampuan memengaruhi orang lain
- Harus gembira
- Bersifat manusiawi
- Bekerja sama dengan manusia lain
- Bekerja sama dengan masyarakat
- Selalu ikhlas mendoakan muridnya
- Berusaha ikhlas mengajarkan ilmunya
6. Lama Waktunya. Maksudnya
selesaikanlah pendidikan itu samapai tuntas, jangan sampai berhenti di tengah
jalan.
Kemudian
Pesan dan Prinsip menuntut ilmu tergambar pada kata pepatah sebagai berikut:
“Berfikirlah di waktu pagi. Bekerjalah di waktu siang. Makanlah di waktu
sore. dan Tidurlah di waktu malam”.
Pada kalimat
pertama dalam
pepatah mengatakan, “Berfikirlah di waktu pagi”. Mempunyai pengertian
agar kita belajar pada usia muda——mulai dari kecil—dengan sungguh-sungguh,
tekun, rajin, percaya diri, serta tidak terpengaruh oleh lingkungan.
Ungkapan
tersebut juga menganjurkan agar kita menggunakan waktu sebaik-baiknya, karena
kunci keberhasilan dalam menuntut ilmu adalah pandai mengatur waktu secara
efektif, dengan mendahulukan aktifitas yang lebih penting dan membuang
aktifitas yang kurang penting. Ini dapat dianalogikan sebagaimana uang yang
hilang dapatlah dicari gantinya, kesehatan yang terganggu ada obatnya, tetapi
bila waktu dan kesempatan yang hilang atau disia-siakan, maka tidak akan ada
gantinya untuk selamanya.
Bagi seorang
penuntut ilmu, bila di masyarakat hasil belajarnya tidak sesuai yang
diharapkan, maka akan mengeluh dan menyesal. Bahkan masyarakat akan
mencemoohnya. Hal ini digambarkan oleh seorang penyair :
“Akan datang kepadamu hari-hari dimana dirimu merasa masih bodoh, dan
akan datang pula berita
tentang kekurangan perbekalanmu”.
Bagi seorang
penuntut ilmu yang hidup di lingkungan pendidikan, tidak boleh merasa dirinya
paling bisa dan bersikap gengsi dengan tidak mau mencari tambahan ilmu. Kisah
Nabi Musa a.s. Harus menjadi ibarah. Beliau merasa dirinya paling pandai
ketika ditanya oleh umatnya, sehingga Allah memerintahkan Nabi Musa untuk
mencari tambahan ilmu kepada Nabi Khadir. Diceritakan dalam Al-Qur’an Surat
Al-Kahfi Ayat 66-78, sebagai berikut:
Musa Berkata
kepada Khidhr: "Bolehkah Aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku
ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang Telah diajarkan kepadamu?"
Dia
menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama
Aku.
Dan
bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang hal itu?"
Musa
berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati Aku sebagai orang yang sabar,
dan Aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".
Dia berkata:
"Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang
sesuatu apapun, sampai Aku sendiri menerangkannya kepadamu".
Maka
berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr
melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya
kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu Telah berbuat sesuatu
kesalahan yang besar.
Dia (Khidhr)
berkata: "Bukankah Aku Telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak akan sabar bersama dengan aku".
Musa
berkata: "Janganlah kamu menghukum Aku Karena kelupaanku dan janganlah
kamu membebani Aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".
Maka
berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak,
Maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang
bersih, bukan Karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu Telah melakukan
suatu yang mungkar".
Khidhr
berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya kamu tidak
akan dapat sabar bersamaku?"
Musa berkata:
"Jika Aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, Maka
janganlah kamu memperbolehkan Aku menyertaimu, Sesungguhnya kamu sudah cukup
memberikan uzur padaku".
Maka
keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri,
mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu
tidak mau menjamu mereka, Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu
dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa
berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".
Khidhr
berkata: "Inilah perpisahan antara Aku dengan kamu; kelak akan
kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya.
Pada kalimat
kedua, “Bekerjalah
di waktu siang”. Pepatah ini mengandung pengertian agar
mengamalkan ilmu yang sudah diperoleh, baik dengan mengajar maupun terus
mencari tambahan ilmu lagi. Rasulullah Saw, bersabda:
“Andai kata seseorang boleh merasa cukup dengan ilmunya, niscaya Nabi
Musa-lah
yang paling cukup”.
Dalam
menuntut ilmu pengetahuan, tidak ada kata berhenti. Dalam arti, seorang
penuntut ilmu yang telah selesai pendidikannya dan berkecimpung di masyarakat,
tidak bisa mementingkan urusan bisnis dan ekonomi saja, tapi juga harus ikut
memecahkan problematika yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Motivasi
yang harus ditanamkan adalah dengan keikhlasan. Sehingga dengan hal tersebut
orang lain akan lebih mudah menghargainya. Sikap ikhlas seseorang dapat
diketahui dari tidak adanya pamrih apapun dari orang lain. Seorang penuntut
ilmu harus mampu menghormati orang lain, karena bagaimana pun juga seseorang
tidak akan bisa sukses dalam mencapai tujuan tanpa ada peran orang lain. Sikap
dan perilaku hormat ini digambarkan oleh pesan Abu Bakar r.a kepada tentaranya
:
“Perbaikilah dirimu, maka niscaya orang lain akan berbuat baik
terhadapmu”.
Pada kalimat
ketiga, “Makanlah
di waktu sore”. Pepatah ini mengandung pengertian bahwa jerih payah
seseorang yang telah dikerjakan di waktu muda, pada saat tua tinggal memetik
hasilnya. Seorang penyair mengatakan :
“Karena
orang-orangtua dulu telah menanam maka kita dapat memakan buahnya sekarang.
Maka kita sekarang dituntut menanam sehingga buahnya dapat dimakan oleh
orang-orang yang akan datang”.
Pada kalimat
terakhir, “Tidurlah
di waktu malam”. Artinya ketika engkau wafat, maka wafatlah dengan
tenang.
Mari kita
perhatikan persyaratan selanjutnya yang harus dipenuhi bagi penuntut ilmu
khususnya bagi penuntut ilmu agama. Ada empat macam persyaratan yang tidak
boleh ditinggalkan supaya ilmu yang dipelajarinya menjadi ilmu yang manfaat dan
barakah——bertambah kebaikan—.
Pertama: penuntut ilmu, khususnya penuntut
ilmu agama ketika keluar dari rumah pergi ke tempat belajar, harus punya niatan
semata-mata untuk menghilangkan kebodohan.
نَوَيْتُ طَلَبَ الْعِلْمِ فَرْضًا ِﷲِ تَعلی
“Nawaitu
thalaba al-ilmi fardhal lillahi ta’ala”
Kedua: niat menuntut ilmu agama supaya
kehidupan kita di dunia fana’ ini berguna dan bermanfaat untuk orang
lain. Nabi Muhammad Saw bersabda:
“Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain”.
Rasulullah
Saw mengumpamakan sifat orang mukmin seperti sifat lebah, dalam sabda-nya:
“Sifatnya
orang mukmin seperti sifatnya lebah (tawon madu),
- Bila makan, yang dimakan adalah halal——yaitu sari bunga yang dihisapnya¯¯,
- Bila mengeluarkan, yang dikeluarkan adalah madu, yang bermanfaat bagi kesehatan. Bila kita mengeluarkan pembicaraan, pembicaraan kita harus berguna dan bermanfaat bagi orang lain. Pembicaraannya tidak menyakitkan orang lain.
- Bila hinggap di dahan yang lapuk maka lebah tidak merusak (tidak mematahkan dahan yang lapuk yang dihinggapinya).
Ketiga: ketika berangkat menuntut ilmu
mempunyai niatan untuk menghidupkan ilmu agama atau meneruskan perjuangan para
ulama ketika pulang nanti. Karena, jika mayoritas umat Islam sudah meninggalkan
mempelajari ilmu agama, maka ilmu agama akan lenyap dan hilang dengan
sendirinya. Seperti yang disinyalir oleh nabi dalam sabda-nya:
“Pelajarilah
ilmu agama (tuntutlah ilmu agama dengan bersungguh-sungguh
dan tekun) sebelum ilmu agama itu
ditarik, dicabut oleh Allah. Caranya Allah mencabut ilmu agama itu karena
wafatnya ulama (yang membidangi ilmu agama itu sendiri)”.
Sedangkan
generasi penerusnya enggan untuk mempelajarinya, dengan dalih kalau
mempelajari ilmu agama dengan tekun, khawatir masa depannya suram, khawatir
tidak bisa kaya, tidak punya jabatan, dan lain-lain seperti yang kita saksikan
pada masa sekarang ini.
Ilmu
agama itu diangkat, maksudnya ilmu agama sudah tidak dianggap penting lagi.
Tidak mendapatkan perhatian yang serius, memandang ilmu agama dengan sebelah
mata dan akhirnya lenyap karena tidak ada yang mempelajarinya.
Keempat: niat menuntut ilmu agama untuk
diamalkan. Bukan untuk bangga, untuk menyombongkan terhadap orang lain, tapi
diamalkan dikala sudah kembali ketempat masing-masing.
“Ilmu tanpa amal membahayakan (bagi yang punya ilmu), dan amal tanpa
ilmu menyesatkan
(dirinya sendiri dan orang lain)”.
Ketenangan
Hati
Segala
pekerjaan dilakukan tidak dalam keadaan tenang, maka akan menimbulkan masalah.
Begitu juga dengan menuntut ilmu, seyogyanya para penuntut ilmu berkonsentrasi
penuh dalam belajar jangan ada keragu-raguan, jangan tergesa-gesa yang akhirnya
bisa merusak belajar. Pergunakanlah waktu sebaik mungkin untuk belajar, dengan
kata lain tiada hari tanpa belajar. Karena Agama Islam sangat
memerhatikan pentingnya soal waktu. Tenangkan hati jangan sampai
memikirkan hal-hal yang tidak penting.
Bahwa
manusia yang memperoleh kebaikan dalam hidup adalah mereka yang memperoleh
ketenteraman batin. Hidup penuh ketenangan, tanpa rasa takut maupun khawatir.
Semuanya akan diperoleh mana kala ikhtiyar dan usaha manusia ditopang
oleh Taqwa dan Tawakkal. Tawakkal disini berarti kepasrahan setelah berusaha.
Penuntut ilmu berusaha belajar setekun mungkin, kemudian berdoa. Itulah yang
dimaksud oleh firman Allah Swt:
Iwr& cÎ)
uä!$uÏ9÷rr& «!$# w êöqyz óOÎgøn=tæ wur öNèd cqçRtøts . úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä (#qçR%2ur cqà)Gt .
“Ingatlah,
Sesungguhnya wali-wali (kekasih-kekasih) Allah itu tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak——pula— mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman
dan mereka selalu bertakwa”. (QS. Yunus: 62-63).
Tuntutan
Hati
Tuntutan
hati dibagi, antara lain:
- Ilmu. Bahwa sifat hati selalu ingin tahu sehingga manusia didefinisikan sebagai makhluk yang selalu bertanya atau makhluk filsafat.
- Hidayah. Artinya gemar melakukan yang baik, terpuji, menghindari perbuatan yang jelek. Bahkan tiap-tiap perbuatan yang jelek pada hakikatnya bertentangan dengan hati nurani.
- Irsyad. Artinya mampu menyerap petunjuk rohani serta mampu membedakan amal yang baik dan jelek.
- Taufiq. Artinya mampu melakukan perbuatan yang sesuai dengan tuntutan Rasul Saw, dan akal sehat.
- Ma’rifat. Artinya mampu melihat Allah dengan mata hati. Bahkan mata hati adalah satu-satunya alat untuk ma’rifatullah. Tatkala akal dan mata kepala tidak mampu menemukan hakekat Allah.
Kemudian hendaknya
para penuntut ilmu dapat memelihara dan membersihkan hati dari sifat-sifat
sebagai berikut:
- Isti’jal (tergesa-gesa)
Bahwa
tergesa-gesa adalah pekerjaan syetan. Pada hakikatnya semua
kegiatan——pekerjaan— yang baik dengan niat yang baik bagi mukmin bernilai
ibadah. Karenanya harus ditunaikan dengan tenang, tidak tergesa-gesa bahkan
harus disertai dengan taqwa dan tawakkal.
- Hasad (dengki)
Tidak senang apabila temannya mendapat nikmat atau berusaha dengan segala macam
jalan untuk merebutnya. Kalimat bijak menyatakan:
الْحَسُوْدُ لاَيَسُوْدُ وَلَوْبَلَغَ اْلمَقْصُوْدُ
(الكلمةالحكيمة)
“Orang hasud (dengki) tidak pernah mampu menjadi pemimpin (yang baik)
sekalipun ia telah
berhasil merebut kepemimpinan itu (dari tangan orang
lain)”.
Orang hasud bahkan akan merusak kebaikan bagaikan api melalap kayu bakar.
Sebagai mana sabda nabi Saw yang berbunyi:
فَإِنَّ الحَسَد يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ
النَّارُ الخَطَبَ (الحديث)
“Maka
sesungguhnya hasud dapat memakan —merusak— kebaikan seperti api melalap
kayu bakar”. —Al-Hadis—
Dengan hasud orang akan menyiksa batin dan dirinya sendiri. Setiap muslim
terhadap orang lain yang
memperoleh nikmat harus ikhlas atau bahkan ikut
mensyukuri sambil berusaha dan berdoa kepada Allah, sehingga nantinya akan tiba
giliran nikmat untuk dirinya.
- Kibr (Sombong)
Merasa dirinya paling besar, sedang lainnya rendah. Kibr, sifat yang
hanya boleh dimiliki oleh Allah Swt. Soal kaya, miskin, pangkat dan tidak,
dijadikan Allah sebagai seni kehidupan. Yaitu agar kehidupan ini berjalan
harmonis dan saling kasih sayang.
- Tulul Amal (Tinggi dan Panjang Angan-angan)
Berangan-angan terhadap hal yang tidak realistis, melainkan bersifat melamun dan
khayalan. Nabi melarang membuang-buang waktu dan melakukan yang tidak berguna.
Sebagai mana sabda nabi Saw yang berbunyi:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ المرءِ تَرَكَ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
(رواه البخاري)
Agama juga melarang orang berfikir yang melebihi batas dari jangkauan
kemampuannya. Sebagaimana sabda nabi Saw yang berbunyi:
تَفَكَّرُوْا فِي الْخَلْقِ وَلاَتَفَكَّرُوْا فِي
الخَالِقِ فَإنَّكُمْ لاَتَقْدِرُوْنَ قَدْرَهُ (رواه أبوالشيخ)
“Berfikirlah
kamu sekalian——sebatas—
makhluk Allah dan janganlah berfikir (melebihi batas) tentang dzat Allah.
Karena sesungguhnya engkau tidak akan mampu mencapai (hakekatnya)”. (HR.
Abu Syekh).
Fungsi
hati dalam kehidupan manusia:
ü
Tempat menyimpan suara hati (Concience), manusia akan menjadi baik mana
kala mau konsisten dengan panggilan hati nuraninya, karena suara hati adalah
pantulan dari fitrah jiwanya. (Lihat Surat ar-Rûm, Ayat. 30)
ü
Fungsi seluruh tubuh manusia, yang dimaksud adalah bahwa kebaikan maupun
kejelekan seluruh tubuh. Kebaikan seseorang menentukan kesehatan jasmaninya.
Sebaliknya hati yang jelek akan besar pengaruhnya terhadap kejelekan jasmani.
Nabi Saw,
bersabda:
اَلآ إنَّ فِيْ الجَسَدِ مُضْغَةٌ إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ
الجَسَدُ كُلُّهُ وَإذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ اَلآ وَهِيَ القَلْبُ
(رواه البخاري ومسلم)
“Ingat di
dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik maka akan baik seluruh
anggota tubuh dan apabila ia rusak maka akan rusak seluruh anggota tubuh.
Ingatlah itulah hati”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Obat Hati
Adapun
beberapa obat hati yang mungkin sudah kita tahu diantaranya, sebagai berikut:
1)
Membaca Al-Qur’an dan makna-nya
2)
Mendirikan Shalat malam (Qiyamullail)
3)
Berkumpul/ bergaul dengan orang saleh
4)
Memperbanyak puasa sunnah
5)
Berdzikir kepada Allah dengan lama pada malam hari.
[1] Prof. KH. Ali Yafie, Upaya Memahami Makna
Hakikat Kehidupan Manusia, Pustaka Pelita, 2006 Hal.18
Dede
Alimuddin, http://pustaka.islamnet.web.id/Bahtsul_Masaail/Artikel/SYARAT%20MENUNTUT%20ILMU.htm
0 komentar:
Posting Komentar