(باب المفعول به)
Bab Maf‘ul Bih
أي الذي فعل به الفعل والمفاعيل خمسة، وبدئ بها لأنها الأصل في النصب، وغيرها محمول عليها، وبدئ منها بالمفعول به لأنه أخرج للإعراب بالفعل، ولأنه أكثر استعمالا.
Yaitu (isim) yang dikenai perbuatan oleh fi‘il (kata kerja). Maf‘ul (objek) ada lima macam. Dimulai dengan maf‘ul bih karena ia adalah yang pokok dalam kedudukan nashab (harakat fathah), sedangkan yang lainnya mengikuti. Dan dari lima itu dimulai dengan maf‘ul bih karena ia lebih nyata i‘rab-nya (kedudukan gramatikalnya) disebabkan oleh fi‘il, serta paling banyak penggunaannya.
وهو الاسم الذي وقع عليه الفعل (نحو ضربت زيدا)
Yaitu isim (kata benda) yang dikenai perbuatan oleh fi‘il. Contohnya: ḍarabtu Zaidan (aku memukul Zaid).
فزيدا مفعول به لوقوع الفعل الذي هو الضرب عليه.
Maka "Zaidan" adalah maf‘ul bih karena perbuatan memukul terjadi padanya.
(وركبت الفرس) فالفرس مفعول به لوقوع الفعل الذي هو الركوب عليه.
Dan (contoh) rakibtu al-farasa (aku menunggang kuda), maka "al-farasa" adalah maf‘ul bih karena perbuatan menaiki terjadi padanya.
وليس المراد وقوع الفعل الحسي كما في هذين المثلين لعدم برهانة فيما مثل به من نحو (واتقوا الله) و(يُقيمون الصلاة).
Yang dimaksud bukan hanya perbuatan fisik seperti dua contoh di atas, karena tidak terbatas pada itu. Contohnya dalam: wattaqū Allāh (bertakwalah kepada Allah) dan yuqīmūna aṣ-ṣalāh (mereka mendirikan salat).
وهو تعلق فعل الفاعل بشيء غير بواسطة حرف جر حيث لا يعقل الفعل بدونه تعقل ذلك الشيء سواء نسب إليه الفعل كما مثل أو بطريق الإثبات كما في نحو لم أضرب زيدا.
Yakni, keterkaitan perbuatan pelaku (fa‘il) dengan sesuatu tanpa perantara huruf jer (kata depan), di mana tidak masuk akal perbuatan itu terjadi tanpa adanya objek itu, baik fi‘il disandarkan padanya seperti dalam contoh tadi, atau dengan cara penetapan (itsbāt) seperti dalam: lam aḍrib Zaidan (aku tidak memukul Zaid).
وعلامة المفعول به أن يخبر عنه باسم مفعول تام من لفظ فعله (وهو على تقسيم ظاهر ومضمر، كما أن الفاعل كذلك (فالظاهر ما تقدم ذكره).
Tanda-tanda maf‘ul bih adalah bisa diberitakan tentangnya dengan bentuk isim maf‘ul (kata benda pasif) yang sempurna dari kata kerja tersebut. Maf‘ul bih terbagi menjadi dua: zāhir (jelas) dan mudhmar (kata ganti), sebagaimana fa‘il juga begitu. Adapun yang zāhir adalah yang telah disebutkan sebelumnya (seperti “Zaidan”).
والمضمر قسمان أحدهما متصل لا يستقل بنفسه، وهو اثنا عشر ضميرا، اثنان للمتكلم وخمسة للمخاطب، وخمسة للغائب،
Adapun yang mudhmar terbagi dua:
-
Muttaṣil (bersambung) yang tidak berdiri sendiri, jumlahnya dua belas dhamir (kata ganti): dua untuk orang pertama (mutakallim), lima untuk orang kedua (mukhāṭab), dan lima untuk orang ketiga (ghāib).
نحو (أكرمني) للمتكلم وحده، و(أكرمنا) للمتكلم ومعه غيره، أو معظم نفسه، وأكرمك بفتح الكاف للمخاطب المفرد، وأكرمكما للمثنى المخاطبين، وأكرمكم لجمع المخاطب، وأكرمكن للمؤنث المخاطب، وأكرمه للغائب، وأكرمهما للمثنى الغائب، وأكرمهم لجمع الغائب، وأكرمهن لجمع المؤنث الغائب،
Contohnya:
-
akramanī untuk aku sendiri (mutakallim mufrad)
-
akramnā untuk aku dan orang lain (mutakallim jamak)
-
akramaka dengan kaf berharakat fathah untuk satu orang yang diajak bicara (mukhāṭab mufrad)
-
akramakumā untuk dua orang yang diajak bicara
-
akramakum untuk jamak mukhāṭab
-
akramakunna untuk mukhāṭab perempuan
-
akramahu untuk satu orang laki-laki (ghāib)
-
akramahumā untuk dua orang ghāib
-
akramahum untuk jamak ghāib
-
akramahunna untuk ghāib perempuan
وهو أيضا اثنا عشر ضميرا على ما تقدم (نحو إياي) و(إيانا) و(إياك) و(إياكما) و(إياكم) و(إياكن) و(إياه) و(إياهما) و(إياهم) و(إياهن)
Dhamir juga ada dua belas jika dalam bentuk munfaṣil (terpisah), sebagaimana telah disebutkan, seperti:
iyyāya (kepadaku), iyyānā (kepada kami), iyyāka (kepadamu), iyyākumā (kepada kalian berdua), iyyākum (kepada kalian), iyyākunna (kepada kalian perempuan), iyyāhu (kepadanya), iyyāhumā, iyyāhum, iyyāhunna, dll.
وجميعه فصل للمضمَر، وبيان للمتصل، والمنفصل هو الأصل فيه.
Seluruh bentuk itu adalah sebagai pemisah (faṣl) untuk dhamir dan penjelas bagi yang muttaṣil. Adapun dhamir munfaṣil (yang terpisah) adalah bentuk asalnya.
(وقد يتقدم ذلك على الفاعل) بأن يذكر لكونه فضلة، نحو (وورث سليمان داود)
Kadang maf‘ul bih bisa mendahului fa‘il karena maf‘ul bih itu termasuk faḍlah (bagian tambahan dalam kalimat, bukan unsur pokok), seperti dalam firman Allah: "waritsa Sulaymān Dāwūd" (Sulaiman mewarisi Daud).
بأن يتوسط بينه وبين الفعل إما (جوازا نحو: ضرب سعدٌ موسى)
Bahwa boleh (secara i‘rab) maf‘ul bih disisipkan antara fi‘il dan fa‘il, contohnya ḍaraba Sa‘dun Mūsā (Sa‘d memukul Musa) — ini diperbolehkan (jawāzan).
وإما (وجوبا نحو: زان الشجر نوره)
Dan kadang wajib (wujūban), contohnya: zāna asy-syajaru nūruhu (cahayanya memperindah pohon).
وقد يتقدم على الفعل والفاعل جميعا جوازا ووجوبا نحو: قريبا هدى وأياما دعوا
Dan kadang maf‘ul bih mendahului fi‘il dan fa‘il sekaligus, baik secara jawāz maupun wujūb, seperti:
-
qarīban hadā (dalam waktu dekat ia memberi petunjuk),
-
ayyāman da‘aw (beberapa hari mereka memanggil).
كما تقدم في باب الفاعل، وذكره هنا زيادة إيضاح، ويجوز إدخال اللام عليه عند تقدم نحو: إنك لموسى ضربت
Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab fa‘il, dan disebutkan lagi di sini untuk memperjelas. Diperbolehkan pula memasukkan huruf lām padanya ketika maf‘ul bih didahulukan, seperti: innaka la-Mūsā ḍarabta (sesungguhnya kamu benar-benar Musa yang kau pukul).
إن كان المفعول لهم لبيان من ترحم أو تبغض، وهذه اللام مقوية لأنها قوت العامل حتى وصل إلى المفعول المتقدم.
Hal itu dibolehkan jika maf‘ul bih tersebut digunakan untuk menjelaskan siapa yang diberi rahmat atau dibenci. Huruf lām tersebut berfungsi memperkuat (tawkiyid), karena menguatkan amal dari fi‘il sehingga bisa mencapai maf‘ul bih yang didahulukan.
لا ليوجب عليه ضعف في الوصول إليه
Bukan karena lemahnya amal (pengaruh) fi‘il terhadap maf‘ul bih yang mendahului.
وإنما جاز تقديم المفعول على الفعل ولم يجز تقديم الفاعل عليه لأن العامل يتصرف في المفعول.
Diperbolehkannya mendahulukan maf‘ul bih atas fi‘il — dan tidak sebaliknya bagi fa‘il — karena amal (pengaruh gramatikal) bisa diarahkan pada maf‘ul bih.
فلو قدم الفاعل لامتنع عمله فيه.
Tapi jika fa‘il didahulukan, maka amalnya menjadi tidak sah.
ولو تأخر المفعول عن فعله وفاعله نحو: ضرب زيد غلامه، فالغلام منصوبا بالفعل والناصب للمفعول هو الفعل لا الفاعل،
Jika maf‘ul bih ditempatkan setelah fi‘il dan fa‘il, seperti: ḍaraba Zaydun ghulāmahu (Zaid memukul anak laki-lakinya), maka "ghulāmahu" (anaknya) adalah maf‘ul bih, dan yang menyebabkan nashab adalah fi‘il, bukan fa‘il.
لأن الفاعل لا يعمل إلا إذا كان فعلا حقيقة أو وصفا في قوة الفعل نحو: هذا ضارب زيدا.
Karena fa‘il tidak bisa beramal kecuali dia sendiri adalah fi‘il (secara hakikat) atau sifat (na‘t) yang kekuatannya seperti fi‘il, contohnya: hādzā ḍāribun Zaidan (ini adalah orang yang memukul Zaid).
ولا يتقدم على الفعل وفاعله إلا ما له صدر الكلام كأداة الشرط نحو: من أكرمته أكرمك، وقيل كذلك نحو: متى تضرب أضرب.
Tidak boleh mendahului fi‘il dan fa‘il kecuali yang memiliki hak muncul di awal kalimat, seperti huruf syarat: man akramtuhu akramtuka (siapa yang kau muliakan, aku akan memuliakanmu), atau matā taḍrib aḍrib (kapan pun kau memukul, aku akan memukul).
وذكر (منه) أي من المفعول به نحو: (قالوا إياك نعبد)
Disebutkan contoh dari maf‘ul bih yang didahulukan atas fi‘ilnya, seperti: qālū iyyāka na‘budu (hanya kepada-Mu kami menyembah).
وقيل إياه أي إياك نعبد هذا إن قلنا إن قادر (عامل) إياك قربه إليه (جوازا نحو: إياك نعبد).
Dan dikatakan bahwa "iyyāhu" (iyyāka) adalah maf‘ul bih, dan fi‘il na‘budu dekat dengannya secara jawāz, seperti dalam iyyāka na‘budu.
وذكر (مقها) أي مفعولا فيه، وأحدهما (للاشتغال)
Dan disebutkan juga contoh maqhā (kafe), yaitu maf‘ul fīh (keterangan waktu/tempat). Salah satu contohnya digunakan dalam konteks isytiġāl (kalimat sibuk).
و(حقيقته) أن يتقدم اسم ويتأخر عنه فعل أو وصف مشتغل بالعمل فيه نحو: زيدا ضربته.
Dan hakikatnya adalah: sebuah isim (kata benda) didahulukan, lalu setelahnya fi‘il atau sifat (shifah/na‘t) yang sibuk mengamalkan pada isim tersebut. Contohnya: Zaidan ḍarabtuhu (Zaid – aku memukulnya).
و(فيه) أي اسم الزمان أو المكان، نحو: صمت يوم الخميس، وجلس زيدا أمامك.
Dan (fīh) maksudnya isim zaman atau makan (keterangan waktu atau tempat), seperti: ṣumtu yauma al-khamīs (aku berpuasa pada hari Kamis), jalasa Zaidun amāmaka (Zaid duduk di depanmu).
و(زيدا) أي نصب زيدا بالفعل لما استغرقه من فعل الجلوس.
Dan Zaidan di sini adalah manshūb (objek) oleh fi‘il karena perbuatan duduk itu menyeluruh mengenai Zaid.
و(زيدا أنا ضارب) الآن أو غدا، مثال للمفعول فيه أيضا مستقبلا.
Kalimat Zaidan anā ḍāribun (sekarang atau besok) adalah contoh maf‘ul fīh juga yang menunjukkan waktu masa depan.
وفيه الاستشهاد، أي أن الشرط للوصف يكون معمولا ولابد من ذلك أن يكون صالحا لما قبل.
Dan dalam hal ini sebagai bentuk istisyhād (pengambilan dalil), yakni bahwa sifat (na‘t) itu harus bisa beramal, dan mesti punya keterkaitan dengan sebelumnya.
فما لا تقبله ضرب زيدا خالد غلامه، لا يصح لعدم قبول زيدا للعمل بالضارب.
Contoh: ḍaraba Zaidan Khālidun ghulāmuhu tidak sah karena Zaidan tidak dapat menerima amal dari kata ḍārib.
ولهذا لا تعمل ما لم تعمل فيها قبله زيدٌ غلامه ضرب، أي من الأول.
Karena itu, kata sifat tidak bisa beramal kecuali jika sebelumnya sudah disebutkan: Zaidun ghulāmuhu ḍaraba (anaknya Zaid yang memukul).
وقوله تعالى (وكل إنسان ألزمناه طائره في عنقه) وذلك كله تمثيل بالمفعول به.
Firman Allah: wa kulla insānin alzamnāhu ṭā’irahu fī ‘unuqih (dan setiap manusia Kami bebankan amalnya di lehernya), semua ini adalah contoh dari maf‘ul bih.
لأن الاسم في جميع الأمثلة المذكورة منصوب (بمجاوزة)
Karena semua isim dalam contoh-contoh di atas itu manshūb (berharakat fathah) karena mujāwazah (berpindahnya amal dari fi‘il ke maf‘ul).
أي يعمل بمجاوزة ما بعده فلا يجمع بينهما إنما يفعل ذلك للمشبهات بالمصدر الحقيقي أو المستقل أو بعدهما.
Yakni fi‘il beramal (mengakibatkan nashab) karena perpindahan pada objek setelahnya. Tidak mungkin dikumpulkan (antara keduanya) kecuali dalam hal yang menyerupai mashdar (kata dasar), baik yang hakiki maupun yang istimewa.
فيبدأ الفاعل أولا نحو: (أمت وولدا رضيع غلامه)، فإن رضيع غلامه هو المقصود في غير الرابع.
Contohnya seperti: ummatun wa waladan raḍī‘a ghulāmihi – maka raḍī‘a ghulāmihi adalah yang menjadi tujuan amal (yang dikehendaki oleh fi‘il) kecuali yang keempat.
وفي الرابع (أكرمنا كل إنسان أزمانه) والمفعلة لتفسير المفعول بها لا محل لها من الإعراب.
Sedangkan pada yang keempat: akramnā kulla insānin azmānahu (kami muliakan setiap manusia menurut zamannya), maka kalimat penjelas tersebut hanya menjelaskan maf‘ul bih dan tidak mendapat posisi i‘rab (tidak berfungsi gramatikal langsung).
والمنادى قسمان: (المبدي خمسة أنواع المفرد العلم)
Munādā (yang dipanggil) terbagi dua: jenis pertama adalah mufrad ‘alam (kata tunggal dan merupakan nama diri).
وهو ما كان تعريفه سابقا على النداء، والبكرة المقصودة
Yaitu yang telah dikenali sebelumnya (ma‘rifah) sebelum dipanggil, dan juga nakirah maqṣūdah (nakirah yang dituju secara khusus).
وهي ما عرض تعريفها في النداء على معنى (والمبكرة غير المقصودة)
Dan juga ada nakirah ghayr maqṣūdah, yakni nakirah yang tidak dituju secara khusus saat dipanggil.
وقد أشرنا إلى بيان المقصود وواحد من أجزائها (المضاف) إلى غيره (والمشبه بالمضاف)
Kami juga telah memberi isyarat pada pembagian:
-
(1) yang maqṣūd (dituju),
-
(2) bagian dari komposisi (al-muḍāf),
-
(3) dan yang menyerupai muḍāf (seperti kalimat panjang setelah munādā).
والبكرة المقصودة بالذات وإنما يحكمها بقولنا (فأما المفرد العلم والبكرة المقصودة فيبنيان على ما يرفعان به في حالة الإعراب)
Dan nakirah maqṣūdah itu dihukumi dengan:
-
fa-ammā al-mufrad al-‘alam wa an-nakirah al-maqṣūdah, maka keduanya mabnī (tetap bentuknya) atas bentuk raf‘ sebagaimana dalam i‘rāb biasa.
ففيبنيان على الضم لفظا أو تقديرا
Maka keduanya dibangun (mabnī) di atas dhammah, baik secara lafazh (nyata) ataupun taqdīran (diperkirakan karena tidak bisa terlihat jelas).
فيقال يا زيد ويا رجل (أو جمع تكسير)
Contohnya: Yā Zaidu dan Yā rajulu, atau bentuk jamak taksir seperti:
للمذكر نحو: (يا مسلمون ويا مزيدون نحو يا زيد ويا جمل)
Untuk bentuk mudzakkar (laki-laki): Yā muslimūn, Yā mazīdūn, Yā Zaid, Yā jamal (hai unta).
(وأسماء) جمع مؤنث سالما نحو يا مسلمات أو مركب تركيبا مزجيا نحو: يا معد يكرب
Dan bentuk jamak mu’annats sālīm (jamak perempuan dengan akhiran -āt) seperti: Yā muslimāt, atau bentuk murakkab tarkīb mazjī (gabungan nama yang menyatu), contohnya: Yā Ma‘d Yakrib.
ويا سيبويه أو أستاذي سمي نحو: يا طالع الجبل
Atau: Yā Sībawayh (gabungan dengan kata asing atau tidak biasa), atau Yā ustādzī (hai guruku). Juga bisa digunakan pada isim yang dibentuk dari jumlah (kalimat) seperti: Yā ṭāli‘a al-jabal (hai pendaki gunung).
وُبيّن على الألف في التثنية
Dan dinyatakan bahwa dalam bentuk tatsniyah (dua), tanda i‘rab-nya adalah dengan alif menggantikan ḍammah.
أي في التثنية نيابة عن الضمة نحو: يا زيدان ويا رجلان
Artinya: dalam bentuk dua, alif menggantikan ḍammah, contohnya: Yā Zaidān, Yā rajulān.
(وعلى الواو في الجمع)
Dan dengan wāw pada bentuk jamak.
المذكر السالم نيابة عن الضمة أيضًا نحو: يا زيدون ويا مسلمون
Yaitu pada bentuk jamak mudzakkar sālīm, wāw menggantikan ḍammah juga, contohnya: Yā Zaydūn, Yā muslimūn.
وإنما بني للمفرد المفتوح الآخر ما لم يضف أو يشبه بالكاف في أُدعو
Sedangkan bentuk isim mufrad yang diakhiri fathah (a) tetap dalam keadaan mabnī, selama tidak menjadi mudhāf atau menyerupai bentuk dengan huruf kāf, seperti dalam Ud‘ū (aku menyeru).
للعالم كزيد وعمرو فإنهم لم يجرّوه بل بنوه كذلك دائماً
Untuk kata nama (alam) seperti Zaid dan ‘Amr, maka ia tidak dijarkan tapi selalu dibaca sebagaimana bentuk aslinya (tetap mabnī).
وبيّن في الإعراب أنه لا أصلاً في الإعراب ضمة إعراباً لا حركة بناء في الكلمة
Dan dijelaskan bahwa dalam i‘rāb, tidak selalu tanda ḍammah itu sebagai tanda i‘rāb, karena bisa juga sebagai ḥarakah mabnī (tetap), bukan berubah-ubah.
إشارة إلى كون الحركات الثلاث لا تظهر في الأصل
Penjelasan ini menunjukkan bahwa tiga jenis harakat (fathah, ḍammah, kasrah) dalam banyak keadaan tidak tampak dalam bentuk asal katanya (karena mabnī).
في الأصل، وإذا اضطر إلى نون، جاز أن تكون مضمومة ومنصوبة، وإذا اضطر ابن جني نحو: يا زيد، يا سعد، جاز أن تكون مضمومة.
Dalam keadaan asalnya, jika seseorang terpaksa menyebutkan nūn (nun), maka boleh dibaca dengan ḍammah atau naṣab. Dan jika seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jinnī dalam contoh Yā Zayd, Yā Sa‘d, maka diperbolehkan dibaca dengan ḍammah.
واعلم أن أكثر النحاة على أن العالم إذا دعي بذكر همزته، فمع فتحها كـ (يا أحمد)، فتقول: يا أحمد، لا (يا أحمدُ).
Dan ketahuilah bahwa mayoritas ahli nahwu berpendapat bahwa jika isim ‘alam dipanggil dengan menyebutkan hamzah-nya, maka dibaca dengan fathah, seperti dalam Yā Aḥmad, dan tidak boleh Yā Aḥmadu.
تعرفان في يا زيد ويا منجذب، بدلًا ظاهرًا لعلامة الرفع.
Bentuk panggilan seperti Yā Zayd dan Yā Munjadhib (yang tertarik), itu sebagai pengganti nyata untuk tanda raf‘ (karena tidak dibaca dengan ḍammah).
بل إنما هو اجتماع الحركات، ويشار إلى أن هذا لا يجوز إلا بعد النداء، والممتنع باقي الثلاثة المكبر.
Namun yang sebenarnya adalah kumpulan dari harakat (bukan i‘rāb biasa). Dan hal seperti ini tidak diperbolehkan kecuali setelah seruan (nidā'), sedangkan bentuk-bentuk lainnya tetap mengikuti hukum asal.
والثلاثة الباقية تبنى على الضم لقصورها عن المفرد المعرفة في المشبه بالمكان الاسمي.
Tiga bentuk sisanya (yakni bentuk tidak disebut di atas) dibaca dengan binaan ḍammah karena dianggap tidak mencukupi syarat seperti bentuk mufrad ma‘rifat atau yang menyerupai isim tempat.
وهي النكرة المقصودة كقولك: يا رجل، ويا عبد الله، ويا زيد، ويا غلام.
Yang dimaksud adalah nakirah maqsudah (nakirah yang dimaksudkan secara khusus), seperti ucapanmu: Yā rajul (wahai lelaki), Yā ‘Abdallāh, Yā Zayd, dan Yā ghulām.
وكل إنسان أزمنه طارئ في عقدة اللمس، في ذلك كله بالمبني، أن لا الاسم في جميع الأمثلة المذكورة منصوب (بمحذوفٍ).
Dan setiap orang yang terpaut waktu (yakni keadaan khusus) dalam bentuk munādā itu, semuanya dibaca dengan bentuk mabnī, tidak dengan i‘rāb biasa. Maka semua contoh tersebut sebenarnya adalah manṣūb dengan maf‘ūl yang dihapus (muqaddar).
أي يعمل بمحذوفٍ مفعولًا فيه، فلا يجتمع بينهما لامتناع أن يظهر المفعول الحقيقي أو المستتر أو مستعملًا بفعل ما بعدها.
Artinya, kata itu dianggap sebagai maf‘ūl dari fi‘il yang dihapus (mahzuf), sehingga tidak bisa disatukan dengan maf‘ūl lain karena terlarang menunjukkan maf‘ūl asli secara terang atau tersembunyi, atau digunakan oleh fi‘il setelahnya.
مثل: (أنا ناصرك) تبدأ بالأمر الثالث في (أهتم، وبدأت ناصرك غلامك)، فإن زيدًا مفعول به ما قبلها.
Contohnya: Ana nāṣiruka (aku akan menolongmu), atau Ibda’ nāṣiraka ghulāmaka (mulailah dengan menolong anakmu). Maka Zayd di sini menjadi maf‘ūl bagi fi‘il sebelumnya.
وهذه الحالة ما إذا قبلها ما فيها ألف، نحو: (يا غلامي، ويا أبتِ، ويا أمّاه)
Dan keadaan ini adalah ketika munādā didahului kata yang mengandung alif, seperti dalam: Yā ghulāmī, Yā abati, Yā ummāh.
والألف تقال: (يا أبا زيد، ويا أبا الحكم، ويا أبا عبد الله)
Dan alif dikatakan (digunakan) dalam contoh seperti: Yā Abā Zayd, Yā Abā al-Ḥakam, dan Yā Abā ‘Abdillāh.
والألف في جميع ما سبق بدل من ياء المتكلم، وقد أُبقيت مفتوحة تنبيهًا على أن المنادى ليس بحرف جر، بل هو منادى منصوب لفظًا أو مقدّرًا.
Alif pada semua contoh di atas adalah pengganti dari yā' al-mutakallim (kata ganti aku/milikku), dan dibiarkan terbuka (fathah) sebagai penanda bahwa munādā itu bukan huruf jer, melainkan ia manṣūb baik secara lafadz maupun taqdir (perkiraan i‘rāb).
وقد أشار إلى ذلك بقوله: (فإن أصله: أدعو عبد الله، وبا طالبًا جلالًا).
Telah disebutkan maksud ini dalam perkataan: Fa inna aṣlahu: ad‘ū ‘Abdallāh, wa bā ṭāliban jalālan (Sesungguhnya asalnya adalah: aku menyeru Abdullah dan aku menginginkan keagungan).
وإياك أن تعرض في حرف النداء للتخفيف، وبدل على الإنشاء، فإن حذف الفعل وإن أبقي ما عينه لكنه يوم الإخبار، بناءً على أصله.
Dan jangan kamu menyangka bahwa huruf seruan (yā') itu untuk meringankan lafadz, atau sebagai pengganti kalimat perintah, karena menghapus fi'il meski maksudnya tetap, maka tetap dibangun di atas asalnya saat pemberitaan.
وإنما وجب الحذف لأن إنشاءنا للحب أو العرف والمعروض عنه قد أفسد العبارة كثيرًا.
Dan penghapusan fi’il itu wajib karena dalam menciptakan bentuk kalimat cinta atau sapaan adat itu jika ditampakkan bisa merusak makna atau keindahan ucapan.
وقد أشار بقوله: (أدعو عبد الله، وبا طالبًا جلالًا).
Telah dijelaskan dengan ucapannya: Aku menyeru ‘Abdullāh, dan menginginkan keagungan.
وإياك أن تعرض في حرف النداء للتخفيف، وبدل على الإنشاء، فإن حذف الفعل وإن أبقي ما عينه لكنه يوم الإخبار، بناءً على أصله.
Dan janganlah kamu mengira bahwa huruf yā' itu digunakan untuk meringankan (lafaz), atau sebagai pengganti kalimat perintah. Karena penghapusan fi'il (kata kerja) itu meskipun maknanya tetap, namun ia dilakukan saat pemberitaan (bukan permintaan), dan dibangun atas bentuk asal kalimatnya.
وإنما وجب الحذف لأن إنشاءنا للحب أو العرف والمعروض عنه قد أفسد العبارة كثيرًا.
Penghapusan fi’il itu wajib karena jika kita menampakkan (mengucapkan) fi'il seperti bentuk cinta atau kebiasaan (adat) dalam seruan, maka itu bisa merusak keindahan kalimat secara makna.
وقد أفسد العبارة كثيرًا إن قلنا: يا عبد الله أحبك.
Sungguh akan merusak ungkapan jika kita mengatakan: “Yā ‘Abdallāh, aku mencintaimu.”
بل نقول: يا عبد الله.
Yang benar adalah cukup mengatakan: Yā ‘Abdallāh.
والكلام محذوف تقديره: أحبك.
Sedangkan kalimat aslinya terhapus dan maknanya dipahami sebagai: Aku mencintaimu.
واعلم أن المنادى خمسة أنواع:
Ketahuilah bahwa munādā itu terbagi menjadi lima jenis:
-
المفرد العلم – Isim mufrad ‘alam (nama orang tunggal),
نحو: يا زيد، يا عمرو – seperti: Yā Zayd, Yā ‘Amr. -
النكرة المقصودة – Isim nakirah yang dimaksud secara khusus,
نحو: يا رجلُ (وأنت تعنيه) – seperti: Yā rajulu (dan kamu memang bermaksud memanggilnya secara spesifik). -
النكرة غير المقصودة – Isim nakirah yang tidak dimaksud secara khusus,
نحو: يا رجلًا (تقصد أي رجل) – seperti: Yā rajulan (yang kamu maksudkan adalah lelaki mana saja). -
المضاف – Munādā yang mudhāf (disandarkan pada kata lain),
نحو: يا عبدَ الله، يا طالبَ علم – seperti: Yā ‘Abda Allāh, Yā Ṭāliba ‘Ilm. -
الشبيه بالمضاف – Yang menyerupai mudhāf,
نحو: يا طالعًا جبلاً – seperti: Yā Ṭāli‘an jabalān (wahai pendaki gunung).
ويعرب الأول والثاني مبنيان في محل نصب.
Jenis pertama dan kedua (isim mufrad ‘alam & nakirah maqsudah) adalah mabnī dalam posisi naṣab.
ويعرب الثالث والرابع والخامس منصوبين.
Sedangkan jenis ketiga, keempat, dan kelima semuanya di-i‘rāb sebagai manṣūb (bukan mabnī).
Penjelasan singkatnya:
Jenis Munādā | Contoh | Hukum I‘rāb |
---|---|---|
1. Isim ‘alam | Yā Zayd | Mabnī fi Maḥalli Naṣb |
2. Nakirah Maqsudah | Yā Rajul | Mabnī fi Maḥalli Naṣb |
3. Nakirah Ghair Maqsudah | Yā Rajulan | Manṣūb |
4. Mudhāf | Yā ‘Abdallāh | Manṣūb |
5. Syibh al-Mudhāf | Yā Ṭāli‘an jabalān | Manṣūb |
فالمفرد العلم والنكرة المقصودة يُبنيان على ما يُرفعان به لو أُعربا.
Isim mufrad ‘alam dan nakirah maqsudah dibaca mabnī dengan bentuk yang seharusnya dibaca raf‘ jika di-i‘rāb secara biasa.
فتقول: يا زيدُ، يا رجلُ.
Contohnya: Yā Zaydu, Yā rajulu.
والمضاف والمنوّن (أي النكرة غير المقصودة) والشبيه بالمضاف يُنصبان.
Sedangkan mudhāf, munādā yang dimuqayyad dengan tanwīn (yakni nakirah ghair maqsudah), dan syibh al-mudhāf semuanya dibaca manṣūb.
فتقول: يا عبدَ الله، يا رجلًا، يا طالعًا جبلاً.
Contohnya: Yā ‘Abda Allāh, Yā rajulan, Yā ṭāli‘an jabalān.
وقد يُحذف حرف النداء، ويبقى المنادى.
Terkadang huruf yā' (huruf seru) dihapus, tapi munādā-nya tetap disebutkan.
نحو: زيدُ، أقبل.
Seperti dalam kalimat: Zayd, datanglah! (padahal maksudnya Yā Zayd, aqbil).
ويُقدّر وجوده تقديرًا.
Dalam hal ini, huruf yā’ dipahami keberadaannya secara takdir, walau tidak diucapkan.
ويجوز حذف المنادى إذا دل عليه دليل.
Boleh menghapus munādā apabila ada petunjuk yang jelas menunjukkannya.
نحو قوله تعالى: (ربِّ اغفر لي).
Seperti firman Allah Ta‘ala: "Rabbi ighfir lī" (Ya Tuhanku, ampunilah aku).
→ Di sini kata seru “yā” dan munādā tidak disebut langsung, tapi dipahami.
فالمحذوف: يا ربِّ.
Yang dihapus sebenarnya adalah: Yā Rabbi.
ويجوز أن يدخل بين حرف النداء والمنادى (أل) التعريف.
Boleh juga huruf التعريف (al) masuk di antara huruf seru dan munādā.
نحو: يا أيها الناسُ، ويا أيتها النفسُ.
Contohnya: Yā ayyuhā an-nāsu, Yā ayyatuha an-nafsu (Wahai manusia sekalian, Wahai jiwa…).
وهذا خاص بالأسماء المعروفة بـ (أيّ) للمذكر، و(أية) للمؤنث، ثم يتبعها المنادى الحقيقي.
Ini khusus untuk bentuk “ayy” (untuk mudzakkar) dan “ayyah” (untuk mu'annats), lalu diikuti oleh munādā yang sebenarnya.
ملحوظة (catatan penting):
“أي” و “أية” dalam konteks ini adalah كلمة تنبيهية (kata penegas/perhatian), bukan munādā asli. Munādā-nya adalah kata setelahnya seperti an-nāsu atau an-nafsu.
Contoh praktis:
Kalimat | Terjemahan |
---|---|
يَا أَيُّهَا النَّاسُ | Wahai manusia sekalian! |
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ | Wahai jiwa yang tenang! |
مفتوحة أو ساكنة، ولا يجوز حذفها بعدها عن المنادى
… baik fathah (dibaca terbuka) atau sukun (dibaca mati), tidak boleh dihapus setelahnya bila munādā datang setelahnya.
(إلا إذا كان ابن عم أو ابن أم)
(Kecuali jika itu adalah kata seperti: ibn ‘amm (anak paman), atau ibn umm (anak ibu))
→ Maksudnya, pengecualian berlaku jika munādā-nya adalah gabungan seperti ini.
أو بنت عم أو بنت أم (فيجوز فيها أربع لغات)
Atau bentuk perempuan seperti bint ‘amm atau bint umm, maka di dalamnya boleh memakai empat bentuk lafal.
لكثرة استعمالها في النداء فخصت بالتخفيف
Karena banyak dipakai dalam kalimat seruan, maka dikhususkan dengan bentuk yang lebih ringan (diringankan pengucapannya).
فحذف إحداهما وتاءنيثها (حذف الياء)
Yaitu menghapus salah satu ya’ dan kadang huruf ta’ perempuan juga dihilangkan.
اكتفاء بالكسرة الدالة عليها (مع كسر الميم وفتحها وبهما قرء في السبع)
Cukup dengan kasrah yang menunjukkan adanya ya’ tersebut.
(Disertai dengan kasrah atau fathah pada huruf mīm, dan keduanya disebutkan dalam Qira’ah Sab‘ah)
قال (يا ابن أم)
Allah berfirman: Yā ibn ummi
→ di sini tidak ditulis ya ibn ummi, hanya memakai kasrah untuk menandai ya’.
وثالثتهما (إثبات الياء كقول الشاعر)
Bentuk ketiga: menyebutkan ya’ secara jelas, seperti ucapan penyair:
يا ابن أمي ويا شقيق نفسي
"Wahai anak ibuku, dan wahai saudara jiwaku"
أنت خلقتني لدهر شديد
"Engkau menciptakan aku untuk zaman yang keras"
ورابعتها (قلب الياء ألفا كقوله)
Bentuk keempat: mengganti huruf ya’ menjadi alif, seperti syair:
يا ابنة عما لا تلومي واهجعي
"Wahai anak paman, jangan kau cela aku dan tidurlah"
فليس يخلو منك يوما مضجعي
"Sebab tidak ada hariku berlalu tanpa memikirkanmu"
وإثبات الباء، وكذا الألف المنقلبة عنها شاذ وفي التوضيح وغيره
Menetapkan huruf ba’ serta alif yang diganti darinya itu termasuk bentuk syād (jarang digunakan), seperti disebut dalam kitab at-Taudhīḥ dan kitab lainnya.
ولا يكادون يثبتون الياء ولا الألف إلا في الضرورة
Mereka jarang sekali menetapkan huruf ya’ dan alif, kecuali jika karena alasan syair (dlarūrah syi‘riyyah).
RINGKASAN MATERI: BAB AL-MAF‘ŪL BIH (المفعول به)
1. Definisi Maf‘ūl Bih:
Maf‘ūl bih adalah isim (kata benda) yang terkena dampak langsung dari perbuatan pelaku (fi‘il). Contoh:
🔸 ضربت زيدا – "Aku memukul Zaid."
Zaid adalah maf‘ūl bih karena terkena tindakan memukul.
2. Ciri-Ciri Maf‘ūl Bih:
-
Berposisi sebagai isim manshub (berharakat fathah).
-
Dapat ditemukan dengan membalik kalimat menjadi pasif, contohnya:
ضربت زيدا → زيد مضروب -
Bisa didahulukan dari fi‘il (kata kerja) jika ada kebutuhan balaghah atau penyusunan kalimat.
3. Jenis Maf‘ūl Bih Berdasarkan Bentuk Dhamir (kata ganti):
-
Dhamir Munfashil (terpisah) → إياي، إياك، إياه
-
Dhamir Muttashil (menyatu) → ضربني، أكرمك، سألهم
4. Urutan Maf‘ūl dan Fa‘il:
-
Maf‘ūl bih boleh mendahului fi‘il dan fa‘il secara jaiz (boleh) dalam kalimat. Namun, tergantung pada kejelasan makna dan konteks.
-
Dalam beberapa kondisi, maf‘ūl harus tetap di akhir agar tidak menimbulkan ambiguitas.
5. Maf‘ūl dalam Bentuk Dhamir dan Contoh-Contohnya:
-
إياك نعبد (Hanya kepada-Mu kami menyembah)
-
أكرمته (Aku memuliakannya)
6. Maf‘ūl dalam Bentuk Munādā (Seruan):
-
Munādā yang dalam bentuk maf‘ūl bih khusus punya aturan berbeda, seperti:
-
يا غلامَ زيدٍ (Wahai pelayan Zaid)
-
يا طالعاً جبلاً (Wahai orang yang menaiki gunung)
-
KHUSUS: MUNĀDĀ YANG BERMULA DARI KATA MA‘RIFAH MAQṬŪ‘ (TERPISAH):
Contoh-contoh:
-
يا ابن أم، يا ابن عم (Wahai anak ibu/paman)
-
Dipakai dalam konteks keakraban atau tekanan emosional.
Empat Bacaan dalam Munādā Khusus Ini:
-
Lengkap: يا ابن أمي
-
Hazf al-Yā’: يا ابن أم
-
Itsbāt al-Yā’: يا ابن أمي (dengan yā’ tampak)
-
Iqlāb al-Yā’ ilā Alif: يا ابن أما (yā’ diganti alif karena syair)
Contoh dari Al-Qur'an dan Syair:
-
يا ابن أم لا تأخذ بلحيتي
-
يا ابن أمّ إن القوم استضعفوني
-
Syair:
أنت خلقتني للدهر شديد
Kesimpulan Umum:
-
Maf‘ūl bih adalah bagian penting dalam susunan kalimat fi‘liyah (verbal).
-
Harus dikenali dengan cermat agar tidak salah dalam menentukan peran kata dalam kalimat.
-
Dalam kasus munādā khusus, terdapat banyak keringanan (rukhsah) dalam pengucapan karena sering digunakan dalam percakapan atau syair.