Pembukaan (Ianatu Atholibin)

 


Ianatu Thollibin hal 2


"Barang siapa yang dikehendaki Allah kebaikan baginya, maka Dia akan memahamkannya dalam agama."

بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah yang telah menjelaskan jalan bagi para pencari ilmu, memudahkan metode kebahagiaan bagi orang-orang yang bertakwa, serta memperlihatkan kepada para hamba-Nya yang jujur berbagai rahasia hukum-hukum agama. Dia telah mengumpulkan rahasia keimanan, dan menyinari hati dengan cahaya ihsan dan keyakinan. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, Tuhan yang Maha Hak dan Maha Jelas. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang jujur dan terpercaya, yang membawa petunjuk dan agama yang benar kepada umatnya agar Allah menampakkan agama ini atas seluruh agama. Semoga salawat dan salam tercurah kepada beliau, keluarga, dan sahabat-sahabatnya.

Amma ba’du...

Maka telah meminta kepada saya, orang yang mulia, terhormat, dan rendah hati, almarhum Syekh Muhammad bin Ahmad bin Sulaiman al-Makki al-Maliki – semoga Allah menyucikan ruhnya dan menjadikannya di surga Firdaus yang paling tinggi – untuk menyusun penjelasan yang lengkap terhadap Kitab "Al-‘Aqīdat al-Sughra", yang merupakan ringkasan ilmu-ilmu dasar akidah dan akhlak, yang ditulis oleh Imam Abul Hasan al-Ash’ari, dengan penjelasan yang disesuaikan dengan pemahaman orang-orang awam dan pelajar pemula.

Maka aku penuhi permintaan itu karena berharap mendapatkan keberkahan dari ilmu para ulama besar dan kasih sayang dari Allah. Aku telah menyusunnya dengan penjelasan yang sederhana dan tidak berlebihan, serta memperhatikan aspek bahasa agar dapat mudah dipahami oleh semua kalangan.

Aku memohon kepada Allah agar menjadikan karya ini ikhlas karena-Nya, bermanfaat bagi para penuntut ilmu, dan menjadi pemberat amal kebaikan di hari kiamat. Dan aku memohon kepada setiap orang yang mendapatkan manfaat dari buku ini untuk mendoakan pengampunan bagi penulis dan kedua orang tuanya, serta seluruh kaum Muslimin. Sesungguhnya Dia Maha Dermawan dan Maha Penyayang.

Ianatu Atholibin hal 3
Dan kami memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Tuhan ‘Arsy yang mulia, semoga Dia memberi taufik kepada kita menuju keridhaan-Nya, memudahkan jalan kepada kemuliaan-Nya, dan menolong kita dalam menyempurnakan amal. Semoga Dia memberi manfaat kepada kita dengan ilmu yang diberikan-Nya, serta menjadikannya tulus karena mengharap wajah-Nya Yang Mulia, untuk mencapai kemenangan dalam surga-surga kenikmatan. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu dan Maha Menjawab doa. Maka aku berkata, dengan memohon taufik dari Allah, dan memulai dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang:

Telah datang perintah dari salah seorang ulama terhormat, yang terhitung di antara para tokoh bijak, untuk menyusun penjelasan dari risalah yang disusun oleh salah satu ulama yang terkenal, yaitu Syaikh Al-Latif Al-Kabir. Ia menyusun risalah tersebut dengan gaya bahasa halus dan rahasia yang tinggi, yang memerlukan penjelasan lebih lanjut, karena isinya dipenuhi dengan makna yang mendalam. Maka aku menyusun penjelasan ini sebagai bentuk tanggapan terhadap permintaan tersebut, serta karena adanya harapan dan doa yang tulus agar Allah menerima usaha ini.

Dan aku memohon kepada Allah Yang Maha Mulia agar menjadikannya amal yang diterima, penuh berkah, dan mendatangkan manfaat.

Kemudian, ketahuilah bahwa agama ini dibangun atas dasar lima: iman, Islam, ihsan, ilmu, dan amal. Iman adalah dasar yang tidak boleh dipisahkan, Islam adalah syariat yang mengatur semua perbuatan, dan ihsan adalah kesempurnaan yang dicapai melalui penghayatan hati. Maka penting untuk mempelajari cabang-cabang agama ini, dan termasuk di antaranya adalah cabang fiqih, akidah, dan akhlak.

Maka perlu adanya pemahaman yang mendalam terhadap hukum-hukum agama, yang mencakup hal-hal wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Misalnya, dalam fiqih madzhab Syafi’i, wudhu dan shalat memiliki tata cara tertentu yang harus diikuti agar sah. Bahkan dalam urusan makan, terdapat adab-adab yang harus dijaga, seperti membedakan antara makanan halal dan haram, antara yang najis dan yang bersih, serta antara yang dianjurkan dan yang dibenci.

Dan perbedaan hukum-hukum tersebut bisa dilihat dalam contoh dua orang yang sama-sama makan daging: yang satu karena lapar dan ingin menjaga kesehatannya, yang satu lagi karena ingin berpesta dan sombong. Maka walaupun makanannya sama, niat dan tujuannya membuat hukum perbuatannya berbeda.

Demikian pula dalam hal ibadah, perbedaan niat dan keikhlasan akan membedakan antara yang diterima dan yang ditolak oleh Allah. Maka penting bagi setiap Muslim untuk selalu menjaga niat dan keikhlasan dalam setiap amal perbuatannya, serta mengikuti sunnah Nabi ﷺ dan ajaran-ajaran yang telah disepakati oleh para ulama.

Ianatu Atholibin hal 4


Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang, maka sesungguhnya Ia memberi penglihatan kepada yang buta, dan diriwayatkan bahwa siapa yang ingin mati dalam keadaan bahagia dan dibangkitkan dalam keadaan syahid, maka hendaklah ia memulai segala urusannya dengan menyebut "Bismillahirrahmanirrahim”, karena setiap sesuatu yang tidak dimulai dengan basmalah adalah terputus (kurang berkah). Bahkan ada riwayat yang menunjukkan bahwa "Bismillahirrahmanirrahim" merupakan bagian dari ayat Al-Qur’an, dan ia termasuk tujuh ayat dalam surat Al-Fatihah.

Disebutkan bahwa jumlah huruf basmalah adalah sembilan belas huruf, dan jumlah ini sesuai dengan jumlah malaikat penjaga neraka, sebagaimana firman Allah: _"Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga)"_. Maka dikatakan oleh para ulama bahwa basmalah memiliki rahasia yang besar. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa siapa yang ingin diselamatkan dari azab neraka, hendaknya dia membaca basmalah dengan sungguh-sungguh sebanyak sembilan belas kali, dan menghayati setiap hurufnya.

Para ulama tafsir mengatakan bahwa setiap huruf dari basmalah mengandung perlindungan dan rahmat. Maka dari itu, seluruh hurufnya mencakup makna penjagaan dan kasih sayang. Dan dikatakan bahwa makna basmalah menyimpan semua isi dari kitab suci yang diturunkan, baik Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur’an. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Al-Fatihah mencakup semua isi Al-Qur’an, dan basmalah mencakup semua isi Al-Fatihah.

Bahkan ada pula yang berkata bahwa seluruh makna kitab-kitab samawi tersimpan dalam satu titik yang ada di bawah huruf ba dari “Bismillah”, dan bahwa Sayyidina Ali berkata: _"Aku adalah titik di bawah huruf ba."_ Hal ini merupakan isyarat akan kedalaman makna dan rahasia dalam setiap huruf dari wahyu Ilahi.

Diriwayatkan pula bahwa Nabi ﷺ bersabda: _"Apabila seorang hamba berkata ‘Bismillahirrahmanirrahim’, maka Allah berfirman kepada malaikat pencatat amal, ‘Catatlah seluruh amal hamba-Ku ini sebagai amal kebaikan dan rahmat.’"_ Dan Allah pun menjauhkan dari siksa api neraka dan memasukkannya ke dalam surga, hanya karena menyebut basmalah.

Dan diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda: _"Telah diturunkan dari langit kitab-kitab suci ke bumi sebanyak 104 kitab, empat di antaranya diturunkan kepada Nabi Ibrahim, sepuluh kepada Nabi Musa sebelum Taurat, dan Taurat, Injil, Zabur serta Al-Qur’an._ Dan sesungguhnya makna dan isi dari seluruh kitab tersebut dapat dikembalikan kepada Al-Fatihah, dan makna dari Al-Fatihah terkandung dalam Bismillahirrahmanirrahim.

Adapun tafsir dari kata الحمد لله (segala puji bagi Allah), maka ia mencakup segala bentuk pujian, syukur, rahmat, dan pemberian. Kata رب العالمين (Tuhan semesta alam) mencakup semua makhluk dan semua yang ada di dunia. Sedangkan kata الرحمن الرحيم (Maha Pengasih Maha Penyayang), mencakup kasih sayang yang luas, pengampunan, anugerah, dan kelembutan.

Kata مالك يوم الدين (Penguasa hari pembalasan), mencakup keadilan, hukuman, balasan, dan perhitungan amal. Kata إياك نعبد(Hanya kepada-Mu kami menyembah), mencakup sifat-sifat orang shalih. Kata اهدنا الصراط المستقيم (Tunjukilah kami jalan yang lurus), mencakup petunjuk, jalan Nabi, dan kebenaran. Kata **المغضوب علم (orang-orang yang dimurkai), mencakup orang-orang yang sesat dan yang menolak kebenaran. Sedangkan الضالين (orang-orang yang tersesat), mencakup orang-orang yang menjauh dari cahaya ilmu dan petunjuk.

Huruf ba’ pada bismillah menunjukkan keterikatan seorang hamba kepada Tuhannya, dan kedekatan antara makhluk dengan Sang Pencipta. Maka dalam huruf ba’ tersimpan makna yang dalam dan hakikat tauhid.

Dikatakan oleh Nabi ﷺ bahwa Basmallah adalah kunci setiap kitab, dan disebutkan dalam riwayat bahwa "Bismillahirrahmanirrahim" adalah kunci surah Al-Fatihah, dan Al-Fatihah adalah kunci Al-Qur’an, dan Al-Qur’an adalah kunci dari ilmu, dan ilmu adalah kunci dari segala kebaikan dunia dan akhirat.

Maka siapa yang membaca basmalah dengan penuh penghayatan, dia akan dibukakan rahmat Allah dan dimudahkan mencapai kebahagiaan abadi. Dan huruf ba yang pertama adalah pintu yang mengantar menuju pengertian dan makna terdalam dari kitab-kitab samawi, rahmat Allah, serta tangisan para hamba yang bertobat.

Ianatu Atholibin hal 5

...kelalaian orang-orang yang lalai, dan kesalahan orang-orang yang berdosa.

Sebagian sufi berkata: "Allah memulai dengan kata ‘Ar-Rahman Ar-Rahim’ karena sifat kasih sayang dan kelembutan-Nya terhadap makhluk-Nya." Allah Subhanahu wa Ta‘ala menjadikan awal bacaan basmalah dengan huruf ba’, bukan dengan huruf alif, karena alif adalah huruf yang berdiri tegak dan mengesankan keangkuhan, sedangkan huruf ba’ adalah huruf yang terbuka dan menunjukkan kerendahan serta kelembutan. Karenanya, ba’ menjadi huruf awal untuk basmalah sebagai isyarat bahwa rahmat Allah terbuka bagi hamba-Nya dengan penuh kelembutan.

Disebutkan bahwa ketika Allah pertama kali menciptakan manusia, Dia memulai dengan huruf ba’ sebagai simbol dari kasih-Nya, dan bukan dengan huruf alif yang menunjuk pada kebesaran atau keangkuhan. Huruf ba’ pun memiliki titik di bawahnya, sebagai tanda akan kehinaan dan ketundukan hamba di hadapan Tuhan.

Ketika manusia bersikap sombong dan tinggi hati, maka ia serupa dengan alif, tegak dan tak mau tunduk. Namun bila ia tunduk dan merendah, maka ia seperti ba’—lembut, rendah hati, dan diterima oleh Allah. Oleh karena itu, basmalah dimulai dengan ba’, bukan alif.

Ar-Rahman Ar-Rahim ditujukan sebagai penegas bahwa rahmat Allah meliputi segalanya, baik dunia maupun akhirat. Oleh sebab itu, siapa pun yang membaca basmalah dengan penuh keyakinan dan tadabbur (perenungan), niscaya Allah akan menuliskan baginya pahala yang besar, dan menjauhkannya dari siksa neraka.

Kata “الحمد لله” (Segala puji bagi Allah) mengandung syukur atas segala nikmat yang Allah limpahkan. Menurut sebagian ulama, syukur terbagi dua: (1) syukur dengan lisan, yaitu mengucapkan alhamdulillah; dan (2) syukur dengan perbuatan, yaitu menggunakan nikmat dalam ketaatan. Maka siapa yang menyadari bahwa semua nikmat berasal dari Allah, akan senantiasa memuji-Nya dan tidak mengingkari-Nya.

Dikatakan bahwa “alhamdulillah” adalah ucapan orang-orang yang mengenal Allah (arifin), dan bahwa syukur adalah tangga pertama dalam perjalanan menuju Allah. Ia menjadi fondasi bagi amal dan ilmu, serta pembuka segala kebaikan. Barangsiapa yang bersyukur, Allah akan menambah nikmat-Nya; dan siapa yang kufur, maka ia berada dalam ancaman siksa.

Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya Allah menyukai hamba-Nya yang, setelah makan atau minum, mengucapkan ‘Alhamdulillah’.” Dan diriwayatkan pula bahwa jika seorang hamba berkata "Alhamdulillah", maka dituliskan baginya pahala yang memenuhi langit dan bumi.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: "Aku lebih mencintai ucapan ‘Alhamdulillah’ daripada harta dunia dan isinya." Hal ini menunjukkan betapa agungnya pujian kepada Allah dalam bentuk kalimat tersebut.

Para arifin berkata bahwa jika seorang hamba memuji Allah atas satu nikmat, maka Allah akan menciptakan untuknya nikmat lain yang menuntut pujian lagi, sehingga syukur itu akan terus menerus, menjadi rantai kebaikan yang tak terputus.

Juga disebutkan bahwa di surga terdapat sebuah pintu yang dinamai Pintu Syukur, dan hanya orang-orang yang pandai bersyukur yang akan melewatinya. Barang siapa yang masuk dari pintu tersebut, dia akan memperoleh derajat tinggi di sisi Allah.

Syukur juga menjadi penyebab utama keselamatan dari neraka dan masuknya seseorang ke surga, sebagaimana disebut dalam doa-doa para Nabi, termasuk doa Nabi Musa dan Nabi Sulaiman: "Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu." Dan Rasulullah ﷺ bersabda: "Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah."


Ianatu Atholibin hal 6

Al-Fath (pembukaan) berarti hukum dan keputusan. Ia diberikan kepadamu saat kesulitan datang dan beban berat menimpamu, ketika berbagai manfaat tertutup dan segala sebab tampak buntu. Dikatakan bahwa “al-fath” adalah terbukanya pintu-pintu bagi jiwa dengan taufik dan rahasia-rahasia ilahi, serta ditetapkannya bagian dan nasib hamba dari nama ini (Ar-Rahman Ar-Rahim), yang maknanya membuka hati hamba di setiap waktu kepada pintu-pintu anugerah, pemberian, penyingkapan rahasia, karamah, dan berbagai kebaikan spiritual.

Dikatakan bahwa siapa saja yang membaca doa setelah salat subuh sebanyak tujuh puluh kali dengan penuh hadirnya hati: “Yaa Fattah, iftah ‘alayya bi futuuhil ‘aarifiin.” Maka Allah akan membukakan baginya pemahaman dan rezeki luas dari arah yang tidak disangka-sangka.

Kata Al-Jawād (Yang Maha Dermawan) adalah salah satu dari Asmaul Husna. Al-Sihah berkata: “Al-Jawād adalah yang memberikan tanpa diminta dan tanpa berharap balasan.” Makna ini diambil dari Al-Qamus dan dijelaskan pula bahwa kedermawanan adalah pemberian sebelum adanya permintaan, dan kemurahan hati adalah pemberian yang banyak dengan ringan, tanpa merasa berat atau enggan.

Dari sinilah sifat Allah sebagai pemberi mutlak (jawād) dapat dipahami, dan siapa pun yang meneladani sifat ini akan menjadi orang yang dermawan sejati, bukan sekadar menunaikan kewajiban.

Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ adalah orang yang paling dermawan, dan beliau menjadi lebih dermawan lagi di bulan Ramadan. Ada pula riwayat dari Sayyidina Ahmad bin Hanbal bahwa seseorang yang meminta padanya tanpa perlu berbicara panjang lebar, langsung diberi karena beliau mengetahui kebutuhan si peminta.

Dari sini pula, sebagian ulama menyimpulkan bahwa pemberian (infāq) lebih utama jika dilakukan sebelum diminta, sebagaimana firman Allah tentang Nabi Ibrahim ‘alayhissalam yang langsung memberi tamu tanpa bertanya apa kebutuhannya.

Adapun Al-Salam, berarti keselamatan dan terbebas dari aib serta kehinaan. Kata ini digunakan dalam syariat sebagai penutup salat, dan digunakan dalam doa untuk memohon keselamatan di dunia dan akhirat.

Asy-Syahaadah atau kesaksian, secara istilah adalah pengakuan dengan lisan dan keyakinan dengan hati akan keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad ﷺ. Ia merupakan salah satu syarat masuk Islam dan menjadi fondasi utama agama. Bahkan, urutan dua kalimat syahadat dalam syariat disusun berdasarkan kedalaman maknanya: pengakuan tauhid lebih dahulu, lalu pengakuan terhadap kerasulan Nabi.

Adapun bersaksi atas kerasulan Nabi bukanlah sekadar ucapan, tetapi bentuk keyakinan dan keteguhan hati. Dalam hadis disebutkan bahwa barang siapa bersaksi dengan sungguh-sungguh, maka surga menjadi balasannya. Karenanya, kesaksian ini adalah pembuka pintu-pintu keberkahan dan sebab keselamatan dari neraka.

Disebutkan bahwa seseorang tidak akan sempurna dalam bersaksi sampai dia yakin sepenuhnya bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan keyakinan yang menyeluruh, tanpa keraguan sedikit pun.

Shalawat atas Nabi ﷺ memiliki keutamaan yang agung dan menjadi bentuk syukur kepada beliau sebagai wasilah segala nikmat. Dalam hadis disebutkan bahwa siapa yang tidak bersyukur kepada orang yang menjadi perantara nikmat, maka ia belum bersyukur kepada Allah.

Dalam kitab suci, Allah memerintahkan agar kita bershalawat kepada Nabi ﷺ, karena beliau adalah pembawa cahaya petunjuk, dan sebaik-baik teladan umat. Shalawat adalah bukti cinta dan penghormatan, sekaligus bentuk permohonan agar kita diselamatkan dari segala macam bahaya.

Banyak sekali hadis yang menerangkan keutamaan salat dan shalawat atas Nabi ﷺ. Salah satunya adalah hadis: “Barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali, Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.”

Disebutkan pula dalam kitab bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Tanah bumi tidak akan memakan jasad para Nabi,” dan bahwa para Nabi hidup di kubur mereka sebagaimana hidup mereka di dunia.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Perbanyaklah salat (shalawat) kepadaku di hari Jumat dan malamnya, karena salat kalian disampaikan kepadaku.”

Dan beliau bersabda: “Orang yang paling dekat denganku pada hari kiamat adalah yang paling banyak bershalawat kepadaku.”


Ianatu Atholibin hal 7

Dari Rabi' bin Khutsaim: Begitu juga, majelis yang di dalamnya disebut nama Nabi ﷺ tumbuh darinya aroma yang wanginya menembus ketujuh langit sampai ke Arasy. Dan bersaksi setiap makhluk Allah yang berada di langit dan bumi kecuali manusia dan jin, karena mereka tidak mencium aroma tersebut. Maka setiap orang disibukkan dengan amalnya dan tidak merasakan aroma itu kecuali orang yang duduk di majelis tersebut dan menangis. Kemudian majelis itu diangkat ke langit dan diangkat derajatnya dengan hitungan orang yang hadir, bahkan sampai seratus ribu kali lipat. Barang siapa yang hadir dalam majelis seperti itu maka dia mendapatkan pahala sebanyak itu. Dan apa yang ada di sisi Allah lebih banyak lagi. Shalawat atas Nabi ﷺ dan salat padanya adalah sebaik-baik pemberian, karena itu membersihkan hati dari kotoran dan cukup sebagai sebab untuk mendapatkan rezeki dan mencegah kefakiran. Dan yang paling utama adalah menghadap ke arah kiblat dengan hati yang khusyuk, serta membersihkan diri dengan menyempurnakan wudhu, dan menghadiri salat dengan menutupi aurat serta menyempurnakan ruku' dan sujud.

Dikatakan dalam hadits: "Jika kalian telah selesai dari salat, maka janganlah kalian berlarian seperti kuda yang liar, namun duduklah dan bershalawat kepada Nabi ﷺ. Maka ucapkanlah: ‘Ya Allah, limpahkan shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah limpahkan kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.’"

Dan Rasulullah ﷺ adalah pemilik maqam mahmud (kedudukan terpuji) yang Allah janjikan kepadanya. Dan itu adalah tempat syafaat. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra, dia berkata: "Jika kalian mengucapkan shalawat kepada Nabi, maka ucapkanlah dengan baik karena kalian tidak tahu, bisa jadi shalawat itu disampaikan kepadanya." Maksudnya adalah dengan menggunakan lafal yang benar dan sempurna sebagaimana yang diajarkan.


Bagian selanjutnya berbicara tentang pentingnya Ahlul Bait dan para Sahabat, serta bagaimana seharusnya umat Islam memuliakan mereka:

Para Sahabat Nabi ﷺ adalah sebaik-baiknya manusia setelah para nabi. Mereka adalah para pembawa ilmu dan para penegak agama. Maka siapa yang mencela mereka berarti dia telah mencela agama, karena merekalah yang menyampaikan Islam kepada kita. Dan tidak layak bagi seorang pun untuk merendahkan mereka dengan pandangan rendah ataupun mencela mereka karena sifat-sifat duniawi, sebab mereka telah mendahului kita dalam keimanan dan amal.


Kemudian, dijelaskan pula istilah "al-ism" (kata benda), "al-fi'l" (kata kerja), dan "al-harf" (kata huruf), serta bagaimana istilah-istilah ini dipahami dalam gramatika Arab (nahwu). Dijelaskan pula maksud dari istilah "al-mazid" (tambahan) dan "al-maf’ul" (objek), serta pentingnya memahami konteks dan makna setiap istilah dalam kaidah-kaidah bahasa Arab.

Juga disebutkan bahwa dalam ilmu nahwu terdapat dua tujuan:

  1. Menjaga lisan dari kesalahan dalam pengucapan.

  2. Memahami makna yang terkandung dalam kalimat secara tepat.


Ianatu Atholibin hal 8

Ia bermaksud memperkuat hukum dan penegasannya dengan mengulang sanad (rantai periwayatan), dan itu karena tidak ada pujian terhadap penyusunnya kecuali karena hal itu bermanfaat dan menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah kebaikan. Maka anggapan bahwa faedah dapat diperoleh darinya adalah benar dan tidak ada ilusi dalam hal ini. Oleh karena itu, sebagian ulama fikih menjadikan hal ini sebagai dalil bahwa ini adalah ijazah (pemberian wewenang) meskipun belum ada permintaan sebelumnya. Disebutkan di awal kalimat adanya permintaan (permohonan) itu untuk menunjukkan adanya pengkhususan dalam permintaan tersebut, seperti dalam doa dan ketidakterlibatan dalamnya oleh orang yang tidak meminta, seakan-akan dia berkata dalam pertanyaan keempat: "Jawablah aku sendiri dan jangan libatkan orang lain bersamaku."

Lihatlah kemurahan dan kebaikannya serta sabda beliau ﷺ: "Karena ia memintanya dan Aku akan memberinya." Maka yang pantas bagi seorang yang meminta adalah tidak meminta untuk keperluan dunia, penyakit, atau kecelakaan, karena itu menunjukkan kekurangan niat. Permintaan hendaknya berkaitan dengan sesuatu yang mulia dan bernilai tinggi, seperti surga dan ridha Allah. Maka tidak boleh seseorang berdoa kecuali dengan sesuatu yang dia yakini baik baginya, bahkan harus menyertakan pengakuan atas keagungan Allah dan merendahkan diri di hadapan-Nya serta menampakkan kebutuhannya.

Tentang redaksi doa yang berbunyi: "Aku meminta kepada Allah untuk (masuk) surga dan perlindungan dari neraka," terdapat beberapa penafsiran: kata "mas’alah" (permintaan) berkaitan dengan "surga" dan "neraka" sebagai maf’ul bih (obyek), dan fi’il (kata kerja) dinisbatkan kepada Allah sebagai pelaku. Ini menunjukkan bahwa permintaan itu ditujukan langsung kepada Allah.

Dan dijelaskan pula bahwa jika doa tidak dikaitkan dengan amal, maka itu adalah bentuk kelemahan dalam niat dan iman. Hendaknya seseorang menggabungkan antara doa dan amal untuk mencapai apa yang diinginkannya. Maka dalam kamus disebutkan bahwa “al-‘afwu” (pengampunan) adalah penghapusan dosa dan hukuman, dan yang dimaksud dengan “rahmat” adalah kelapangan dan kebaikan.

Kemudian, penulis menyebutkan mengenai berbagai tingkatan surga: Surga Firdaus adalah yang paling tinggi, Surga ‘Adn, Surga Na’im, Surga Darus Salam, Surga Ma’wa, Surga Darul Jalal dan sebagainya, dan masing-masing memiliki kedudukan dan keistimewaan tertentu. Sebagian ulama menyebut bahwa tingkatan surga itu empat, dan sebagian lain menyebutkan delapan.

Mengenai redaksi “اللهم إني أسألك” (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu), maka redaksi ini tidak disebutkan secara langsung (tanpa menyebut "Allah") kecuali dalam keadaan yang menuntut ringkasan dan singkatnya ungkapan, atau karena ada alasan lainnya. Maka penulis menambahkan lafaz "Ya Allah" untuk menunjukkan kehormatan dan kesungguhan permintaannya. Ini juga menjadi dalil bahwa penyebutan nama Allah dalam doa adalah inti, dan redaksi tersebut jika datang secara mufrad (tunggal) atau jamak tetap mengandung kekuatan makna.

Lalu dijelaskan tentang asal-usul suatu kata dan alasan penggunaan bentuk tertentu dalam redaksi doa, seperti penggunaan bentuk fi’il (kata kerja), ism (kata benda), atau huruf. Perbedaan dalam struktur kalimat ini mengandung makna tertentu, apakah itu menunjukkan pengkhususan, penguatan makna, atau untuk menunjukkan permohonan yang benar dan tidak main-main. Maka memilih bentuk kalimat yang tepat adalah bagian dari adab dalam berdoa dan penghayatan terhadap makna doa itu sendiri.


Ianatu Atholibin hal 9

Perkataan: “Dan nama diambil dari ‘as-samaa’ (ketinggian)” — maksudnya adalah bahwa nama itu diambil dari kata “samaa” karena ia tinggi dan terangkat, tidak menyentuh yang rendah, serta terangkat dari sudut penghinaan kepada tempat kemuliaan dan pengakuan, sebab tidak ada sesuatu dari jenis makhluk yang diberi nama khusus kecuali menunjukkan jenis dan macamnya. Ini adalah mazhab kaum Bashrah, dan oleh karena itu mereka menghapus huruf 'alif' dalam “سمو” karena ringan diucapkan, karena telah sering digunakan. Maka ketika dihubungkan, maka 'ya' digunakan sebagai pengganti dan 'hamzah washal' diletakkan sebagai penengah, sebagai pengganti huruf yang dihapus. Maka jadilah "سمى" (menamai), dan kata “الاسم” menjadi ringan diucapkan karena alasan-alasan tersebut.

Adapun penduduk Kufah, mereka menambahkan huruf untuk fi'il (kata kerja) dan tidak menghapusnya. Maka mereka mengatakan bahwa huruf-huruf tambahan dalam fi'il berasal dari asal kata. Oleh karena itu, kata “اسم” menurut mereka berasal dari kata “وسم” (tanda), dan mereka berkata bahwa isim berasal dari al-wasm (tanda), dengan penambahan huruf.

Adapun mengenai kata “الرحمن” dan “الرحيم”, maka ini termasuk dari nama-nama yang dihapus sebagian hurufnya, karena itu ringan diucapkan. Mereka berkata bahwa fi’ilnya berasal dari kata rahima, dan bahwa kata “رحمن” adalah bentuk mubalaghah dari kata tersebut. Maka karena itu mereka menyebutkannya dengan bentuk yang ringan dan pendek. Dan sebagian ahli bahasa berkata bahwa asalnya adalah “رحمان” dengan alif, kemudian diganti menjadi “رحمن”.

Ada pula yang berkata bahwa penghapusan itu adalah demi kemuliaan, karena tidak layak bagi nama-nama Allah untuk memuat huruf-huruf yang menunjukkan kekurangan atau kelemahan. Sebagaimana dikatakan oleh para ahli kalam, bahwa Allah tidak dinamakan dengan nama yang mengandung makna keterbatasan atau kemakhlukan. Maka dari itu tidak ada dalam nama-nama Allah ﷻ kecuali nama-nama yang menunjukkan kesempurnaan.

Sebagian dari mereka juga berkata bahwa nama-nama tersebut tidak ditetapkan kecuali melalui wahyu, dan tidak boleh seseorang menamakan Allah dengan apa yang ia kehendaki dari sisi akalnya atau pendapatnya. Oleh karena itu, nama-nama Allah hanya boleh ditetapkan berdasarkan nash (teks wahyu). Dan dari sinilah muncul prinsip bahwa tidak boleh menamai Allah dengan nama-nama yang tidak disebutkan oleh Allah atau Rasul-Nya.

Adapun makna firman Allah: “قوله والله أعلم” — maksudnya adalah bahwa orang yang sedang menjelaskan sesuatu yang tidak jelas atau yang tidak diketahui secara pasti, maka hendaknya ia mengembalikan pengetahuan itu kepada Allah. Karena nama tertentu atau makna tertentu yang ada di luar hal yang diketahui tidak boleh ditetapkan secara mutlak.

Para ulama telah memperingatkan bahwa menamai sesuatu yang mustahil, seperti mengatakan bahwa Allah mempunyai anak, atau bahwa ada sesuatu yang sepadan dengan-Nya, maka ini adalah bentuk kebodohan terhadap kedudukan Allah ﷻ dan keberadaan-Nya yang suci dari segala kekurangan.

Kemudian dijelaskan pula bahwa sifat wajib bagi Allah adalah keberadaan (al-wujud), dan makna keberadaan tersebut adalah suatu hal yang tidak didahului oleh ketiadaan, tidak ada akhir ketiadaan bagi-Nya, tidak berubah, dan tidak bisa dihukum oleh waktu. Maka Allah adalah yang Maha Awal dan Maha Akhir, tidak didahului oleh sesuatu dan tidak akan diakhiri oleh sesuatu.

Firman Allah: “الاله” (al-Ilah) — makna kata ini berasal dari kata “أله” yang artinya adalah menyembah, dan oleh karena itu “الإله” berarti yang disembah, yaitu Zat yang layak dan pantas untuk disembah. Maka Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah, dan tidak ada ilah selain Dia. Maka penghambaan hanya kepada-Nya, tidak kepada yang lain. Dan inilah makna dari tauhid.

Setelah itu disebutkan bahwa kata “الله” adalah lafaz jalalah yang khusus bagi Allah, tidak digunakan untuk selain-Nya. Dan para ahli usul berkata bahwa nama ini tidak terbentuk dari tashrif (konjugasi), dan tidak ada dalam bahasa Arab lafaz yang mirip dengannya.

Adapun makna doa: “اللهم إني أسألك باسمك الأعظم” — ini menunjukkan bahwa orang yang berdoa dengan menyebut nama Allah yang agung, maka doanya akan dikabulkan. Disebutkan dalam hadits bahwa apabila seseorang berdoa dengan nama Allah yang agung, maka doa itu akan dijawab. Maka para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan “nama Allah yang agung”. Sebagian berkata itu adalah “الله”, sebagian lagi mengatakan “الحي القيوم”, dan ada pula yang mengatakan bahwa itu tergantung kepada keikhlasan dan kehadiran hati ketika menyebutnya.

Maka orang yang berdoa hendaknya menghadirkan hatinya, ikhlas dalam doanya, dan mengucapkan doa dengan adab-adab yang sesuai. Maka dari itu disebutkan bahwa kunci doa adalah ikhlas, dan sebaik-baik doa adalah yang disertai dengan kehadiran hati dan kekhusyukan kepada Allah ﷻ. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ: "Berdoalah kepada Allah dalam keadaan kalian yakin akan dikabulkan." Dan sebagaimana perkataan Sayyid Abdul Qadir al-Jailani: "Wahai anakku, jangan kamu berdoa kepada Allah dengan lisan yang kotor dan hati yang dipenuhi oleh hal yang haram."


Ianatu Atholibin hal 10



بسم الله الرحمن الرحيم

الجلالي الله هو الاسم الأعظم وإنما يستجاب لك إذا قلت الله وليس في قلبك غيره، وهذا الاسم خواص وعجائب منها أن من داوم عليه خلوة مجردًا بأن يقول الله حقٌّ يعتل عليه حالٌ شاهدٌ عجائب الملكوت ويقول بإذن الله لديه، كن فيكون، وذكر بعضهم أن من كتبه في إناءٍ يغسل به وجه المصروع أخرج الله شيطانه، ومن ذكره خمس ألف مرةٍ في موضع خالٍ عن الأصوات لا يسأل الله شيئًا إلا أعطاه، ومن قال كل يوم بعد صلاة الصبح هو الله سبعين مرةً نرى آثار بركتها في دينه ودنياه، وشاهد لنفسه أشياء عجيبةً...


Teks ini adalah bagian dari literatur klasik Islam yang membahas tentang asma' Allah al-husna, khususnya keutamaan menyebut "Allah" sebagai nama agung (الاسم الأعظم). Disebutkan bahwa:

  • Menyebut nama "Allah" dengan ikhlas dan konsentrasi penuh bisa membawa keajaiban dan keterhubungan dengan alam malakut.

  • Nama ini memiliki kekuatan spiritual besar yang bisa menyembuhkan orang kerasukan (المصروع) atau mendatangkan berkah bagi yang istiqamah menyebutnya.

  • Ada amalan seperti menyebut "هو الله" sebanyak 70 kali setelah salat Subuh untuk keberkahan dunia dan akhirat.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak