باب المفعول معه
Bab Maf'ul Ma'ah (Kata yang menyertai perbuatan)
هذا خاتمة المفاعيل وجعلها آخرها للتردد في كونه سمعيا أو قياسيا
Ini adalah bagian terakhir dari objek-objek (maf'ulat), dan diletakkan terakhir karena adanya keraguan apakah bentuknya berdasarkan pendengaran (sami'i) atau analogi (qiyasi).
ولكن العامل لا يصل إليه إلا بواسطة الواو
Namun kata kerja (yang memengaruhi maf'ul ma'ah) tidak sampai kepadanya kecuali melalui huruf "wawu".
(وهو الاسم المنصوب) بما سبقه من فعل أو ما فيه حروفه ومعناه (الذي يذكر بعد واو بمعنى مع)
(Yaitu isim manshub) yang didahului oleh fi'il atau sesuatu yang mengandung huruf-huruf dan makna fi'il (yang disebutkan setelah huruf "wawu" yang bermakna "bersama").
لمصاحبته معموله الفعل
Karena isim tersebut menyertai fi'il dalam perbuatannya.
وهذا هو المراد بقوله (بيان من فعل معه الفعل)
Dan inilah maksud dari ucapannya: "penjelasan tentang siapa yang bersama dia melakukan perbuatan".
لا لمشاركته فيه
Bukan karena ia ikut serta dalam perbuatan itu.
وإن المراد ذلك ومصاحبته أن يكون من الفاعل في صدور الفعل عنه هو ومن المفعول عليه في زمن واحد
Jika yang dimaksud adalah penyertaannya, maka itu adalah munculnya fi'il dari pelaku dan dari maf'ul ma'ah dalam satu waktu.
(مسبوق) ذلك الاسم (بجملة فيها فعل أو فيها اسم فيه معنى الفعل وحروفه)
Isim itu didahului oleh suatu kalimat yang mengandung fi'il atau mengandung isim yang bermakna dan mengandung huruf-huruf fi'il.
كقوله (نحو جاء الأمير والجيش)
Contohnya seperti: "Datang sang amir dan pasukan" (jā’a al-amīru wa al-jayshu).
أي جاء الأمير مصاحبًا للجيش
Artinya: sang amir datang bersamaan dengan pasukan.
(واستوى الماء والخشبة)
Dan seperti dalam kalimat: "Air dan kayu menjadi rata" (istawā al-mā’u wa al-khashabah).
أي استوى الماء مع الخشبة
Artinya air menjadi rata bersama kayu.
وعدد المنصوب لإفادة المعنى
Dan jumlah isim manshub untuk memberikan makna.
بعد أن لا يكون جزءًا مقصودًا به الفاعل
Dengan syarat bahwa itu bukan bagian dari fi’il yang dimaksudkan kepada pelaku.
كاستوى الماء أو لا فائدة له
Seperti “air menjadi rata” (yang hanya menyebut air), atau tidak ada faedah dari penyertaannya.
وكذلك (كقوله) جاء زيد والخشية
Demikian pula seperti dalam ucapannya: “Jā’a Zayd wa al-khashyah” (Datang Zaid dan rasa takut).
ألا ترى أن الخشية لا تتأتى منها أن ترتفع
Tidakkah engkau melihat bahwa rasa takut tidak mungkin datang atau terangkat.
وإنما المقصود أن المعنى جاء زيد في حال خشية
Yang dimaksud sebenarnya adalah: Zaid datang dalam keadaan takut.
فالخشية مصاحبة له في مجيئه لا أنها مشاركة له فيه
Maka rasa takut itu menyertainya dalam kedatangan, bukan berpartisipasi dalam kedatangan itu.
و(قد يجب النصب على المفعولية) لمعنى يمنع من العطف
Dan bisa jadi wajib manshub sebagai maf’uliyah karena suatu makna yang mencegah adanya 'athaf (penyambungan dengan wawu).
كما في قوله (نحو المثالين الأخيرين)
Seperti dalam ucapannya (yakni dua contoh terakhir).
لأن امتناع العطف فيهما من جهة المعنى نعم إن سر استوى بمعنى تساوى
Karena larangan ‘athaf di situ berasal dari segi makna. Ya, jika makna “istawā” adalah “sama” (setara)...
أو امتنع المعنى فيها برفع في الثاني منهما لأن الخشية ليست شيئًا محسوسًا حتى يستوي في العلو
Atau makna tidak memungkinkan jika yang kedua dibaca rafa’ karena rasa takut bukanlah sesuatu yang nyata secara fisik sehingga bisa dikatakan “sejajar”.
فحينئذ تكون قرينة تمنع من العطف وتوجب النصب
Maka pada saat itu terdapat petunjuk (qarinah) yang mencegah ‘athaf dan mewajibkan nasab.
و(قد يرجح النصب على العطف) لمعنى آخر أيضًا لا لمانع من العطف
Dan kadang nasab lebih diunggulkan atas ‘athaf karena alasan makna lain, bukan karena larangan terhadap ‘athaf.
بل لأن في النصب تقوية للمعنى نحو (وقام زيد وطلوع الشمس)
Bahkan karena dalam nasab terdapat penguatan makna, seperti dalam contoh: “Qāma Zayd wa ṭulu‘u al-shams” (Zaid berdiri dan matahari terbit).
لأنه يدل على قيامه في الوقت الذي لا يقوم فيه غيره عادة
Karena itu menunjukkan bahwa Zaid berdiri di waktu yang tidak biasa orang lain berdiri.
و(نحو وطلوع الشمس) بالنصب لأن فيه معنى التشريك في اقتضاء الشر
Dan seperti “wa ṭulu‘u al-shams” (dan terbitnya matahari) yang dibaca nasab karena mengandung makna penyertaan dalam membawa dampak negatif (seperti sial).
كقوله تعالى (فأجمعوا أمركم وشركاءكم)
Seperti dalam firman Allah: fa-ajmi‘ū amrakum wa shurakā’akum (Putuskanlah urusan kalian dan sekutu-sekutu kalian).
أي مع شركائكم لأنه لا يقع من الشركاء ما يقال أجمع شركائي
Artinya: bersama sekutu-sekutu kalian, karena tidak mungkin dikatakan “sekutu-sekutuku memutuskan bersama”.
إنما يقال جمعت شركائي وأجمعتهم
Yang benar dikatakan adalah “aku mengumpulkan sekutu-sekutuku” dan “aku menyatukan mereka”.
و(قد يرجح) النصب مفعول معه (على العطف) إذا احتيج إلى الفصل نحوه قمت وزيدًا
Dan kadang nasab sebagai maf’ul ma‘ah lebih diunggulkan atas ‘athaf jika dibutuhkan pemisahan, seperti dalam contoh: “Qumtu wa Zaydan” (aku berdiri dan Zaid [bersamaku]).
لأن العطف على الضمير المتصل لا يحسن إلا بعد الفصل ولا فصل غير النصب
Karena menyambungkan (athaf) pada dhamir muttashil (kata ganti tersambung) tidak baik kecuali setelah ada pemisah, dan satu-satunya pemisah yang mungkin adalah nasab.
فالنصب أرجح لسلاسة اللفظ وارتكابه وجه ضعيف
Maka nasab lebih utama karena kehalusan lafal, dan memaksakan 'athaf adalah wajah (pendekatan) yang lemah.
ووجه الفرق بين الرفع والنصب معنى أن النصب يقتضي مشاركة زيد للمتكلم في القيام في وقت واحد
Perbedaan antara rafa’ (diangkat) dan nasab (dibaca nashab) dari segi makna adalah: nashab menunjukkan bahwa Zaid ikut serta bersama pembicara dalam berdiri pada waktu yang sama.
ونحو واحد
Dan dalam satu keadaan/waktu yang sama.
وإن كان زيدًا فإن شارك المتكلم في القيام لا يلزم أن يكون فهمًا في وقت واحد
Tetapi jika dibaca “Zaidan” (nashab), maka meskipun Zaid ikut berdiri bersama pembicara, tidak mesti menunjukkan bahwa itu terjadi pada waktu yang persis sama.
ورجحان النصب مما ذكر هو ما في التوضيح
Dan penguatan bentuk nashab dari yang telah disebutkan itu terdapat dalam kitab At-Tawdīḥ.
وحزم ابن الحاجب في كافيته بجعوه وكذلك ابن هشام في قطره
Ibn al-Hajib dalam Kāfiyah-nya dan Ibn Hisham dalam Qatr an-Nada-nya juga cenderung tegas dalam hal ini.
وقال إنه الأصح (وقد يرجح العطف عليه) أي على النصب (نحو المثال الأول)
Dan beliau berkata bahwa itu (nasab) adalah yang lebih sahih. Tetapi bisa juga ‘athaf (penyambungan dengan waw) lebih diunggulkan atas nashab, seperti pada contoh pertama.
وهو (نحو جاء الأمير والجيش)
Yaitu seperti dalam kalimat: “Datang sang amir dan pasukan.”
ونحو (جاء زيد وعمرو) فالعطف فيهما وفيما شبيههما لما هو حال من ضعف من جهة اللفظ والمعنى
Dan juga seperti kalimat: “Datang Zaid dan Amr”, maka penyambungan (‘athaf) di situ dan pada yang serupa dengannya karena lemahnya segi lafal dan makna.
(أرجح لأنه الأصلي)
Maka ‘athaf lebih utama karena itu adalah bentuk asal (baku).
إذا لم يقتضِ معنى النصب والرفع نظر إلى خلاف في العطف أما إذا قطع النظر عن مراد المتكلم لاختلاف معنى النصب والرفع
Jika makna nashab atau rafa’ tidak dituntut, maka dilihat kepada perbedaan dalam ‘athaf. Namun jika tidak dilihat kepada maksud pembicara karena perbedaan antara makna nashab dan rafa’,
فإنه إذا نظر إلى أن زيدًا مقصود معه نصًا نحو ضربت زيدًا والعبد
Maka apabila dianggap bahwa Zaid adalah maksud bersama (dalam perbuatan), maka dibaca nashab, seperti dalam kalimat: “Aku memukul Zaid dan budak”.
وإلا فالعطف فلا يتصور
Jika tidak demikian, maka dibaca sebagai ‘athaf. Dan kalau tidak memungkinkan,
فإنه بذلك شرط المفعول معه أن يسبق بلفظ أو ما فيه معناه وحروفه
Karena maf’ul ma‘ah itu disyaratkan harus didahului oleh kata (lafal) atau sesuatu yang mengandung makna dan huruf fi‘il.
فما تصح قراءته على أن زيدًا والعبد فاعلان كيف أنت وفصاحته
Maka tidak sah membaca kalimat tadi dengan menganggap Zaid dan budak sebagai dua pelaku (fa‘il), karena itu bertentangan dengan kefasihan (fasahah).
إنما تريد بالنصب مع عموم الشرط المتقدم
Yang dimaksud dengan nashab adalah mengikuti syarat umum yang disebutkan sebelumnya.
فالجواب أن الفعل موجود تقديرًا
Jawabannya adalah bahwa fi’il itu dianggap ada (secara takdir).
وإنما لا يذكر لتقدم فعله
Dan hanya tidak disebutkan karena fi’ilnya telah disebutkan sebelumnya.
أو لفصل نافع وتقدير كونه مفعول معه لا فاعل كما قيل إن زيدًا والعبد ضربتهما
Atau karena adanya pemisahan yang bermanfaat, dan dianggap sebagai maf’ul ma‘ah, bukan sebagai fa‘il. Seperti dikatakan dalam: “Sesungguhnya Zaid dan budak itu, aku telah memukul mereka berdua”.
(فصل وأما المشبه بالمفعول له) وهو المصدر المنصوب لبيان العلة الباعثة على الفعل
Bagian: Adapun yang menyerupai maf‘ul lahu (tujuan), yaitu mashdar (kata benda dari fi‘il) yang dibaca nashab untuk menjelaskan sebab yang mendorong terjadinya fi’il.
أو ما هو مفعوله إن كان مصدرًا لما قبله كقولك (ضربته تأديبًا)
Atau sesuatu yang menjadi objek fi‘il sebelumnya jika mashdar-nya berasal dari fi’il yang ada sebelumnya, seperti dalam kalimat: “Aku memukulnya sebagai didikan (ta’dīban)”.
و(ضربته حسن وجهه) إن أريد بالحسن سبب الضرب
Dan seperti “Ḍarabtuhu ḥusna wajhihi” (Aku memukulnya karena keelokan wajahnya), jika keelokan itu adalah sebab dari pemukulan.
والأصل يقدر بلام التعليل
Asal kalimatnya dapat ditaksir (dipahami) dengan memakai huruf “lām” yang menunjukkan sebab (للتعليل).
نحو لما ضربته (لعلة الحسن) أو ضربت زيدًا حسن وجهه مستقرًا الصفة للمضروب
Seperti: “Aku memukulnya karena keelokan” atau “Aku memukul Zaid, keelokan wajahnya” – dalam hal ini “keelokan” menjadi sifat tetap dari orang yang dipukul.
فلا يتعين نصب زيدٍ حسن إن لم تضمن إنشائه لأنه ليس مفعول به لأن الصفة كاشفة
Maka tidak wajib menjadikan “Zaid” sebagai objek (maf’ul bih) karena sifat itu hanya menjelaskan.
ولا تميز أيضًا لأنه مضاف (وسيأتي الكلام عليه مع زيادة)
Dan juga bukan sebagai tamyiz (penjelas tambahan), karena ia mudhaf (yang memiliki). (Dan akan dibahas lebih lanjut setelah ini).
وسيأتي الكلام عليه مع زيادة
Dan pembahasan tentang hal ini akan datang dengan tambahan (penjelasan lebih lanjut).
Ringkasan Materi: المفعول معه (Maf‘ūl Ma‘ah)
Definisi:
Maf‘ūl ma‘ah adalah isim manshub (kata benda yang dibaca nashab) yang menyertai fi‘il dan bukan sebagai pelakunya, dengan maksud menyatakan kebersamaan atau keadaan yang menyertai fi‘il. Biasanya didahului oleh "و" (wawu ma‘iyyah – huruf wawu yang menunjukkan kebersamaan).
Contoh Umum:
-
جاء زيدٌ والجيشَ → Zaid datang bersama pasukan.
Syarat Maf‘ūl Ma‘ah:
-
Harus berupa isim manshub.
-
Tidak boleh pelaku (fa‘il) atau objek langsung dari fi‘il.
-
Harus ada fi‘il atau sesuatu yang bermakna fi‘il sebelumnya.
-
Mengandung makna kebersamaan antara dua hal.
Tabel Perbandingan Maf‘ūl Ma‘ah dengan ‘Athaf
Aspek | Maf‘ūl Ma‘ah (المفعول معه) | ‘Athaf (العطف) |
---|---|---|
Definisi | Isim manshub yang menunjukkan kebersamaan | Penyambungan dua unsur menggunakan huruf ‘athaf |
Contoh | جاء زيد والجيشَ (Zaid datang bersama pasukan) | جاء زيد والجيشُ (Zaid dan pasukan datang) |
Kedudukan | Bukan fa‘il atau maf‘ūl bih | Bisa fa‘il, maf‘ūl bih, atau posisi lain sesuai konteks |
Makna | Menyatakan kebersamaan, bukan kesetaraan pelaku | Menyatakan kesetaraan dalam kedudukan |
Bentuk I‘rab (tanda) | Manshub (berharakat fathah) | Mengikuti posisi yang disambungkan |
Penggunaan | Jika unsur kedua tidak mungkin menjadi pelaku | Jika unsur kedua bisa menjadi pelaku |
Larangan ‘Athaf | Jika makna tidak memungkinkan untuk disambung | Tidak berlaku jika secara makna bisa disambung |
Contoh & Penjelasan Tambahan
Kalimat | Makna | Analisis |
---|---|---|
قمتُ وزيدًا | Aku berdiri bersama Zaid | “زيدًا” adalah maf‘ūl ma‘ah karena tidak bisa di-‘athaf pada “قمت” tanpa pemisah. |
جاء الأميرُ والجيشَ | Sang Amir datang bersama pasukan | “الجيشَ” maf‘ūl ma‘ah, karena yang datang hanya amir; pasukan menyertai. |
طلُع زيدٌ وطلوعُ الشمس | Zaid muncul dan matahari terbit | Bisa ‘athaf karena keduanya subjek yang logis muncul. |
طلُع زيدًا وطلوعَ الشمس | Zaid muncul saat matahari terbit | “طلوعَ” manshub menunjukkan waktu bersamaan. |
Catatan Penting:
-
Kadang nasab lebih utama dari ‘athaf jika:
-
Diperlukan untuk memisahkan antara fa‘il dan maf‘ūl.
-
Makna tidak memungkinkan untuk ‘athaf.
-
Untuk penguatan makna (ta’wīl).
-
-
Maf‘ūl ma‘ah tidak selalu harus eksplisit, kadang bisa dimaknai secara konteks (taqdīr fi‘l).